September 2018 menjadi bulan bersejarah bagi keluarga kami, bukan karena itu ulang tahun ibu icha avrianty hehe tapi karena bulan September kami memutuskan mulai menjadi praktisi homeschooling. Artinya per September 2018 kami bebas menentukan kapan harus traveling karena tidak terikat cuti kantor serta liburan sekolah, artinya juga kami bisa traveling pada saat low season hehehe. Jadi lah September 2018 kami pergi ke Jepang.
Sejak keluar dari sekolah, anak-anak homeschooling biasanya harus melewati fase deschooling, semacam masa transisi dari sekolah ke homeschooling. Berapa lama kah proses deschooling ini ? Idealnya 1 tahun sekolah sama dengan 1 bulan deschooling. Karena Kakak sudah melewati 2 tahun usia sekolah artinya idealnya proses deschooling berlangsung selama 2 bulan. Namun, karena prinsip HS keluarga kami adalah fleksibilitas, jadi proses deschooling ini pun kami jalani mengikuti perkembangan Kakak. Lalu, dimulai lah proses deschooling di Jepang. Sebagai praktisi homeschooling tentu saja kami tidak mau traveling hanya menjadi sekedar jalan-jalan apalagi buang-buang duit untuk shopping haha. Pokoknya, harus ada ilmu yang dibawa pulang, memori yang akan dikenang anak seumur hidup dan membangkitkan rasa penasaran anak sebagai bahan bakar dia untuk belajar.



Sebelum berangkat, saya membekali Kakak dengan travel journal lengkap dengan kamera instax. Tugasnya sederhana, setiap hari Kakak harus menulis perjalanannya selama di Jepang, menulis apa saja yang menarik atau tidak enak buat dia. Walau sederhana tapi untuk Kakak lumayan menantang. Ini karena selama di sekolah, Kakak tidak pernah menemukan tujuan dia menulis, untuk apa ya aku menulis ?, kenapa aku harus menulis sesuatu yang aku gak suka ?, bagaimana aku memformulasikan ide ?. Belum selesai pertanyaan itu, Kakak sudah dicap punya tulisan jelek LOL. Ternyata, ketika Kakak menemukan tujuannya dan dilakukan dengan sukacita, tanpa ada pemaksaan dan perang urat syaraf dia mau menulis. Perjalanan menuju sempurna memang masih panjang, but i love baby steps, i love small progress, jadi walau masih sederhana banget hasilnya, namun ada kemajuan dari jurnal hari pertama sampai hari terakhir. This is where the beauty of homeschool works, bagaimana HS bisa berjalan mengikuti kecepatan belajar masing-masing anak, karena dalam dunia pendidikan harusnya kita semua percaya kalau tidak ada anak yang bodoh. Semua anak unik dengan kekuatan dan kekurangan mereka masing-masing. (Bersambung)
One thought on “Deschooling di Jepang (Bagian 1)”