Tujuan pendidikan itu memang harus tinggi, gak bisa main-main. Bahkan tujuan pendidikan harus lebih dari sekedar menjadikan manusia berguna bagi masyarakat. “Belanda yang datang ke sini sebagai penjajah juga berguna bagi masyarakatnya, tapi di sini banyak yang ditindas” begitu celoteh seorang teman dalam diskusi komunitas CM hari ini.
Tanpa tahu tujuan tentunya kita akan kesulitan menentukan langkah, kesulitan menentukan sarana. Hal ini penting karena di era banjir informasi, semua sarana terpampang nyata menunggu untuk kita gunakan, salah satunya adalah kurikulum.
“Kurikulum ini adalah program belajar yang dilandaskan pada hak manusia untuk memperoleh pendidikan. Sangat luas, tapi kita tidak boleh sebut sebagai mustahi, tidak boleh pula kita hanya pilah-pilih bagiannya, mendidiknya di aspek ini tapi tidak di aspek itu. Kita bahkan tidak boleh mendiskriminasi antara sains dan humaniora” Charlotte Mason Vol. 6 Hlm 158
Bagaimana menyusun kurikulum untuk mencapai tujuan mulia pendidikan ? tujuan apakah yang lebih dari “berguna bagi masyarakat” ?
Sebelum menjalani homeschooling, pikiran saya rasanya tertutup untuk urusan kurikulum. Tidak pernah saya pikirkan matang-matang. Kurikulum buat saya sebatas pilihan Nasional atau Internasional, tanpa saya paham apa filosofi di balik masing-masing kurikulum. Padahal untuk beli baju dan sepatu saja biasanya cukup lama saya menimbang dan berpikir sampai memutuskan membeli. Kok urusan pendidikan anak ya terima beres aja.
Sekarang di #homeschooling keluarga kami, perlahan kami restart, memulai lembaran baru yang semuanya berawal dari langkah sederhana yaitu mengubah sudut pandang. Ini langkah sederhana tapi sebenarnya gampang-gampang susah. Butuh waktu lama untuk mengubah sudut pandang dari percaya bahwa menyodorkan pengetahuan sebanyak-banyaknya lalu anak menjadi maha tahu adalah yang terbaik ke percaya bahwa anak berhak mendapatkan kurikulum kaya yang berisikan ide-ide.
“ Believing that the normal child has powers of mind that fit him to deal with all knowledge proper to him, we must give him a full and generous curriculum; taking care, only, that the knowledge offered to him is vital—that is, the facts are not presented without their informing ideas.” Charlotte Mason Vol 1 Hlm 12
Berangkat dari sini, saya jadi enggan membeda-bedakan mata pelajaran. Di jadwal harian biasanya yang tertulis nama judul buku yang kami pelajari. Berawal dari buku-buku sejarah, sastra berkualitas yang nantinya akan sambung menyambung membuat relasi dengan bidang lain seperti sains, agama atau filsafat. Betapa indah ketika menemukan buku yang membahas planet dengan kalimat “Day and night, never resting for a moment, the eight planets are continually moving around the sun. When the journey is finished they begin again, silent, punctual, never tired, so punctual … And the astronomers are filled with delight to see how well these wonderful works of God obey the law He has given them” . Betapa indah melihat Sains menyatu dengan Agama tanpa kesan menggurui apalagi fakta kering. Saya akan selalu ingat bagian ini karena ingat komentar Kakak yang bilang “Planet aja punya habit of obedience ya..”.
Elementary Geography, Charlotte Mason
Dengan menyajikan ide-ide di balik pengetahuan artinya kita mempertemukan pikiran dengan pikiran. Ibaratnya ketika kita ingin anak kita paham gejolak perjuangan kemerdekaan Indonesia, dititipkan ke siapa pelajaran itu ? Mungkin salah satu jawabannya adalah Bung Karno, namun apakah mungkin menghadirkan Bung Karno ke ruang kelas ? tentu tidak, karena raga beliau sudah tidak ada lagi di dunia ini. Namun ide-idenya yang bersifat spiritual terus hadir, api pemikirannya bahkan masih kita rasakan saat ini. Dan itu bisa ditemukan melalui buku-buku hidup berisi pemikiran beliau. Ingin belajar tentang kemerdekaan Indonesia ? temukanlah anak dengan Bung Karno, dengan Tan Malaka bukan dengan soal pilihan ganda.
Kalau sudah menanamkan ide-ide, prakteknya , anak-anak bebas eksplorasi sendiri mencerna ide-ide itu. Di sinilah iman kita sebagai orangtua diuji, sama persis ketika kita sudah berusaha dan berdoa, sisanya tawakal atau berserah diri pada Allah. Namun bukan juga iman buta, yang sama bahayanya dengan cinta buta. Kalau ada buku berjudul Cinta Yang Berpikir, ada juga Iman yang berpikir. Artinya selain beriman, kita juga perlu untuk sering-sering ajak omong diri sendiri. Terutama jika yang dihadapkan adalah lagi-lagi kesulitan dan kesulitan. “Jangan-jangan yang salah bukan kurikulumnya, bukan gurunya” “Jangan-jangan saya aja yang baperan, kurang bersyukur, pikiran sempit” “Jangan-jangan ini bukan kemauan anak saya, tapi saya yang memaksakan kehendak saya”. Pergulatan batin ini jugalah yang semakin memantapkan saya bahwa manusia pada akhirnya adalah makhluk spiritual. Sehingga tujuan pendidikan yang mengarah pada hal teknis, utilitarian akan menjadi sia-sia dan melelahkan. Sudah banyak orang pintar, yang semakin ke sini makin kalah dengan mesin pencari.
“Bukan hal teknis dan gemblengan akademis tidak penting tapi cita-cita pendidikan kita mestinya lebih dari sekadar membuat anak pintar; pendidikan mestinya bertujuan menjadikan anak bijaksana.”
– Saduran “Plutarch on the Education of Children” oleh FH Colson dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891 suntingan Charlotte Mason (192) diterjemahkan oleh Ellen Kristi
Berat ya ? mengasah sisi spiritual memang bukan pekerjaan mudah, jangankan anak saya, saya sendiri saja rasanya masih terus melakukan pencarian, namun begitulah tujuan pendidikan seharusnya menurut Miss Mason. Berguna bagi masyarakat saja tidak cukup, tujuan pendidikan harus menyentuh sisi spiritual manusia, agar manusia terus mengasah pemahaman akan dirinya, tugasnya di semesta ini.