Mencari karya sastra Indonesia yang dikhususkan untuk anak itu ternyata cukup menantang. Riris K Toha-Sarumpaet dalam Pedoman Penelitian Sastra Anak memaparkan penelitiannya pada 40 bacaan anak realistik yang terbit pada tahun 1991-1993. Ditemukan bahwa dalam beragam bacaan anak tersebut alur yang disampaikan adalah alur tunggal, tanpa tegangan sehingga akhir cerita mudah ditebak. Dari segi penokohan para tokoh digambarkan bahwa Ayah adalah sosok kuat, ibu lemah lembut dan anak-anak hanya sebagai pelengkap. Selain itu karena dianggap membawa misi yang kompleks antara psikologi dan pedagogi, tokoh-tokoh anak dibuat tidak berdaya, hanya sebagai pelampiasan kebutuhan bertutur orang tua. Pendeknya bacaan anak cenderung dumbing down to kids. Bacaan anak menganggap anak-anak itu bodoh, harus dijejali nasihat bulat-bulat antara mana yang baik dan mana yang buruk.
Dari pengalaman memilih bacaan untuk anak-anak terasa sekali sulitnya mencari bacaan anak yang tidak menganggap remeh anak dengan latar belakang kearifan lokal Indonesia. Kalau melihat sastra Eropa atau Amerika tentu sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Sebut saja Mark Twain, H.C Andersen sampai Charles Perrault dengan karya sastrawi dan tak lekang oleh waktu. Nama-nama besar seperti yang disebutkan itu tentunya tidak sulit bagi kita mendapatkan akses pada karya mereka, baik dalam versi bahasa Inggris atau terjemahan.
Saya dan si Kakak juga menikmati sekali beragam bacaan tersebut. Tak jarang bacaan itu memantik diskusi bahkan inspirasi bagi Kakak untuk melakukan sesuatu. Misalnya ketika membaca karya klasik Anna Sewell, Black Beauty, Kakak jadi bisa menarik kesimpulan sendiri bahwa “Yang jahat itu manusia yaa mah, binatang itu gak ada yang jahat” “Kalau mereka gigit kita itu karena dia kesal tapi kan ya ga bisa ngomong” . Lalu dia juga bertekad untuk melindungi hewan-hewan dan bercita-cita menjadi animal conservationist. Sebelum lebih jauh melangkah ke cita-cita dewasanya pun dia sudah memiliki inisiatif menggalang dana untuk animal shelter. Bukan sesuatu yang besar memang karena masih banyak kekurangan. Namun perhatian saya justru ingin menyoroti betapa kekuatan cerita itu sangat besar. Sehingga tidak main-main memang menulis karya sastra yang ditujukan untuk anak.
Ketika anak merasa orang tua-nya saja sudah banyak nasihat, lalu ketika membaca buku ketemu lagi nasihat, besar kemungkinan mereka akan merasa jenuh. Si Kakak awalnya tidak pernah menyukai buku, bahkan kalau dia membaca rasanya hanya angin lalu. Tidak pernah dia mengutip buku atau mengajak saya berdiskusi tentang bacaannya. Ternyata memang kuantitas bacaannya tidak sebanding dengan kualitasnya. Betul dia terhibur, betul dia mengisi waktunya dengan hal yang lebih positif yaitu membaca ( Saya pikir this much better than screen kan ?) tapi akhirnya hanya angin lalu. Berbeda sekali ketika Kakak bertemu bacaan yang menganggap anak sama rata dengan orang dewasa, menganggap anak adalah teman diskusi dengan kemampuan pikir yang sama dengan orang dewasa. Pada buku-buku seperti itu, anak merasa terhubung dengan tokoh-tokoh yang tidak hitam putih.
Seorang anak bernama Totto Chan bukan anak yang mengoleksi piala dan piagam, Totto Chan anak yang dikeluarkan dari sekolah. Totto Chan tidak diterima di sekolah manapun. Totto Chan sering ngambek.
Seorang anak bernama Indra Tualang bukan anak sholeh penghafal 30 Juz, dia adalah anak yang mencuri sarapan Ayahnya, dia kadang malas pergi ke sekolah, ketimbang belajar dia lebih memilih beternak ayam.
Justru bersama Totto Chan dan Indra Tualang, si Kakak merasa terhubung. Tidak merasa jauh seperti ketika menemukan tokoh yang super, luar biasa pintar, rajin menabung, rajin ke sekolah 😅. Tokoh-tokohnya nyata, seperti kita semua. Tidak sempurna.
Dalam pencarian akan bacaan anak Indonesia berkualitas akhirnya mempertemukan kami dengan beragam karya hebat. Mencarinya tentu bagai mencari kolor dalam jerami (menantang). Ketika masuk ke toko buku populer, Anda bisa menemukan 10 rak buku namun mungkin hanya satu-dua judul yang masuk kategori sastra anak berkualitas. Sampai akhirnya pencarian dilakukan di beragam toko buku bekas. Beruntung sekali kami bergabung dengan beberapa komunitas yang sering membahas buku-buku anak. Sehingga tak jarang kami bertukar koleksi buku untuk dibaca bersama atau dikopi karena banyak yang sudah tidak terbit lagi.
Tulisan ini bukan bermaksud protes pada maboknya beragam buku anak. Namun justru melalui tulisan ini saya mau mengapresiasi karya sastra anak Indonesia yang sudah kami baca dan akhirnya jatuh cinta. Seperti kisah Indra Tualang karya Soesilo Toer yang saya sebutkan di atas. Karya-karya Soesilo Toer ini seperti mengajak anak-anak melihat potret lain Indonesia dari sisi yang mungkin selama ini tidak pernah dilihat anak-anak. Di dalam buku Raja Gembul, ada cerita tentang Kasan seorang tukang becak yang mengalami nasib sial di Jakarta, padahal sebelum ke Jakarta Kasan adalah petani kaya di desanya. Hanya karena omongan tetangganya yang mengatakan hidup di Jakarta itu bergelimang harta, Kasan memilih meninggalkan desa dan mengadu nasib di Jakarta. Akhirnya bukan untung yang diraih Kasan di Jakarta tapi malah nasib malang. Ceritanya selain memiliki latar belakang khas Indonesia, tokoh yang dihadirkan juga bukan tokoh hitam-putih melainkan tokoh-tokoh yang manusiawi. Buku-buku karya Soesilo Toer seperti dilihat pada gambar rasanya cocok dijadikan bacaan awal menyelami sastra anak Indonesia. Selain berkualitas juga mudah untuk didapatkan karena Pataba Press mencetak ulang karya-karya Adik Pramoedya ini menjadi cetakan baru.
Selamat Membaca Guys !!