Salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan pada saya sebagai praktisi homeschooling adalah “Sosialisasinya gimana ?”. Sebenarnya saya bingung kenapa pertanyaan ini lebih sering diutarakan pada mereka yang memilih tidak menyekolahkan anak-anaknya. Padahal pertanyaan yang sama juga layak ditanyakan pada mereka yang bersekolah di sekolah formal. Saya sendiri lebih senang menjawab pertanyaan ini dari sisi kualitas bukan kuantitas. Artinya ketika bicara kuantitas atau seberapa banyak jumlah teman yang dimiliki seorang anak, oh my..please talk to my Facebook friends list hehe. Di era demokrasi media seperti sekarang ini saya rasa mencari teman bukanlah hal yang sulit, di samping rumah, di sosial media, anak-anak teman, di komunitas, di tempat kursus dlsb yang intinya sekolah bukan satu-satunya tempat untuk mencari teman. Oleh karena itu saya lebih tertarilk melihat sosialisasi lebih ke sisi kualitas. Satu hal yang sebenarnya perlu direnungkan bukan hanya oleh ortu homeschooler tapi juga ortu anak-anak sekolah formal.
Sudah cukupkah waktu bermain anak-anak ?
Ini pertanyaan yang hadir pada saya justru pada saat si Kakak masih merasakan bangku sekolah formal. Memang saya tahu bahwa Kakak pergi ke sekolah menghabiskan waktu 8 jam sehari di sekolah, tapi apakah dari 8 jam itu dia sudah mendapatkan cukup waktu untuk bermain ?. Apakah di sekolah dia cukup waktunya untuk berdiskusi, tukar pikiran, bermain bebas bersama teman-temannya ? Lebih banyak mana, duduk diam mendengarkan penjelasan guru atau lebih banyak berinteraksi dengan teman dan belajar menjadi diri sendiri di antara teman-temannya ?. Jawabannya pasti berbeda-beda, namun yang jelas pertanyaan-pertanyaan tadi lebih menyentil sisi kualitas dari sosialisasi. Betul di sekolah sangat ramai, anak-anak bisa bertemu teman-temannya tapi apakah waktu yang dihabiskan bersama teman-temannya adalah pertemanan yang berkualitas atau pertemanan yang berguna bagi tumbuh kembang si anak.
Apakah teman-teman membuat anak merasa secure or insecure ?
Di manapun si anak menemukan teman rasanya selalu ada kemungkinan anak-anak mengalami konflik. Dari konflik tersebut bagaimana anak mengatasinya ? apakah ia merasa insecure dengan konflik yang dihadapi ? . JIka memang anak mengalami konflik apakah kita sebagai orangtua sudah pernah membahasnya bersama anak ?. Seperti kita ketahui perundungan bukanlah hal baru di dunia anak-anak, ini terjadi bisa di mana saja dan dapat dialami baik oleh anak sekolah maupun anak homeschooling. Konflik sendiri juga tidak melulu soal perundungan, tapi juga self-acceptance anak pada dirinya sendiri, apakah anak pernah merasa terintimidasi oleh temannya yang dianggap lebih pintar, lebih populer, lebih senior ? Bagaimana reaksi anak pada hal tersebut ?. Yang jelas kehendak anak tentu masih dalam masa perkembangan, bahkan kita orangtua saja kadang masih sering baper terhadap konflik dengan rekan kerja, teman atau sahabat. Dan baper tersebut kadang berbuntut pada akhir yang tidak solutif dalam sebuah konflik.
Masing-masing anak juga adalah pribadi yang unik. Ada yang cepat panas dan langsung akrab dengan teman-teman baru. Ada yang senang bermain dengan banyak teman. Ada yang lebih senang main dengan 1-2 teman namun intens, ada juga yang butuh waktu lama untuk akhirnya bisa terbuka atau nyaman dengan teman. Jika sudah tahu karakter masing-masing anak, tentu saja kita akan memfasilitasi mereka dengan pendekatan yang berbeda terkait pertemanan. Sehingga urusan sosialisasi lebih dari sekedar banyak-banyakan teman atau gaul dan tidak gaul.
Bagaimana bisa belajar kehidupan dari teman ?

You’ve got a friend in me
Bicara soal teman, bagi saya bicara tentang kehidupan. Seringkali inspirasi yang datang pada saya berasal dari teman-teman terdekat. Sebelum jauh-jauh melihat satu tokoh terkenal sebagai inspirasi, saya seringkali melihat pada teman-teman dekat saya. Tanpa perlu saya sebutkan nama-namanya di sini, saya bisa katakan bahwa dari mereka saya belajar tentang kerja keras, belajar tentang duka, belajar tentang suka, belajar tentang maaf, belajar tentang mendengar dan begitu banyak makna kehidupan yang saya dapat dari teman. Jumlah teman-teman saya yang bertahan dekat sampai saat ini tidak banyak, juga tidak dari kelompok umur yang sama, ada yang lebih muda, ada yang lebih tua, suku, agama dan ras mereka pun berbeda-beda. Namun dari keragaman, konflik, suka dan duka itulah yang membuat saya menghargai pertemanan saya dengan teman-teman dekat. Dari temanlah saya belajar banyak tentang kehidupan.
Dari beberapa pertanyaan di atas, saya akhirnya merasa bahwa sosialisasi tidak sekedar bagaimana mendapatkan teman. Tapi, tantangannya justru pada menjawab pertanyaan- pertanyaan di atas. Apakah dengan teman-temannya anak-anak saya bisa bertumbuh ? bertumbuh dengan segala konflik, suka dan duka.