Dalam metode pendidikan Charlotte Mason terdapat 20 butir prinsip pendidikan yang menjadi fondasi. Namun dari 20 butir tersebut sebenarnya hanya dua yang menjadi induk dari butir-butir lainnya. Menurut Karen Glass kedua prinsip induk itu adalah “Children are born persons” dan “Education is the science of relations”. Kali ini saya akan membahas yang kedua terlebih dulu karena terkait dengan pembahasan pada diskusi komunitas Charlotte Mason Jakarta yang sedang membahas tentang Tuhan. Wow berat ya ? ini komunitas parenting atau sekte yang mengkultuskan CM sih ? hahaha.
Di antara tiga jenis pengetahuan yang layak dimiliki anak, pengetahuan tentang Tuhan, tentang manusia, tentang alam semesta, pengetahuan tentang Tuhan menduduki peringkat pertama. Makanya tidak heran jika pendidikan CM ini adalah pendidikan religius bukan pendidikan sekuler. Bicara pendidikan agama membawa saya ke pengalaman saat dulu mengenyam pendidikan formal berbasis agama. Hafalan ayat-ayat suci dan doa mengisi hari-hari saya di sekolah. Bahkan untuk kenaikan kelas para murid diharuskan menyelesaikan SKU ( Syarat Kecakapan Umum ) yang isinya adalah lembaran daftar hafalan yang harus diselesaikan. Pada prakteknya setiap murid diharuskan mendatangi guru dan menghafal di hadapan guru tersebut untuk mendapatkan tanda tangan di SKU. Tidak cukup dengan itu, setiap bulan Ramadhan, di sekolah diadakan pesantren kilat wajib dan kami para murid menyelesaikan bangku sekolah dasar dengan khatam Al-Quran sebagai syarat kelulusan. Lulus dari SD, selanjutnya saya masuk ke sekolah menengah pertama dan menengah atas negeri, sehingga sedikit bebas dari beragam kewajiban hafalan dan ritual keagamaan. Jujur saja dari segala gemblengan agama pada masa kecil saya itu di lembaga sekolah tidak pernah membawa saya berelasi dengan Tuhan atau pelajaran moral yang berarti. Teman-teman SD saya mungkin akan teringat saat kami memutuskan makan mie ayam ketimbang sholat Dzuhur berjamaah di mesjid dan entah kenapa tidak pernah ada guru yang menyadarinya haha. Motivasi saya bukan ingin membangkang sih atau malas sholat, hanya saja jadwal sholat bertepatan dengan laparnya perut saya haha kacau !!
Perjalanan spiritual justru saya dapat dan rasakan di rumah bersama orang tua. Kasih sayang orang tua yang saya dapat sejak kecil hingga saat ini itulah yang selalu menjadi pegangan saya saat beragam konflik batin menerpa. Saya memang bukan anak yang baik budi hahaha, teman-teman dekat saya tentu setuju dengan pernyataan ini, namun saya selalu merasakan kasih sayang orang tua dan bahkan tunduk pada otoritas mereka. Dari merekalah saya belajar banyak tentang kehidupan, baik dari nasihat atau dari teladan yang mereka secara sadar dan tidak sadar berikan. Fast forward ke masa awal saya menjadi ibu, saya seakan lupa dengan esensi bahwa orang tua adalah kepanjangan tangan Tuhan, sehingga secara tidak langsung saya “menyerahkan” pendidikan agama anak pada lembaga. Saya percayakan anak saya pada lembaga berbasis agama untuk mendidiknya, untuk membimbing moralnya. Saya dan suami ? mau terima beres deh, ya minimal kalau harus berupaya setidaknya 20% saja sudah cukup, sisanya biar sekolah saja. Kok begitu punya anak saya jadi lupa pelajaran agama dan moral justru saya dapat lebih banyak dari orangtua ?. Sekarang setelah menjalani homeschooling barulah saya berpikir ulang, kenapa untuk urusan Tuhan harus saya serahkan ke lembaga ? Bukankah pengetahuan agama saya sangat jauh dari sempurna dan harusnya saya juga terus belajar ? Belajar bersama anak saya ? Atau saya belajar untuk membimbing anak saya ? . Akhirnya dengan homeschooling ini malah membuka kesempatan saya untuk kembali mendalami hal-hal religius yang sempat saya lupakan.
“Seorang ibu tahu caranya memperkenalkan anak pada TUHAN, seperti dia bisa membuat anak itu yakin bahwa dia punya ayah, meskipun si anak belum pernah melihatnya, lewat segala bukti perhatian dan kasih sayangnya kepada sang ibu dan anak-anaknya. Ibu tahu caranya membuat hati anak diluapi sukacita dan syukur dengan memperkenalkan pikiran, “Bapaku di surga yang menciptakan semua ini” seraya si anak bergembira memandangi padang rumput penuh bunga, pohon besar, aliran sungai. “Gunung-gunung dan lembah-lembah dan sungai-sungai berkilauan adalah milik orang yang matanya berkaca-kaca karena sukacita ilahi” [The Freeman, Cowper] dan sukacita itu bisa dirasakan anak-anak.” Charlotte Mason Vol.6 Halaman 159
Charlotte yang pemeluk agama Kristen memaparkannya seperti di atas, namun sebenarnya pernyataan CM tersebut bisa saja berlaku pada pemeluk agama lain selama orang tersebut percaya pada Tuhan. Orang tua tentu saja mendapat tugas mulia menjaga titipan-Nya, sehingga seharusnya orang tua yang mengemban tugas membimbing anak menjalin relasi dengan Tuhan. Selama menjalani homeschooling, saya selalu berkata bahwa ini bukan sekedar mencari alternatif pendidikan saja namun juga menjadi perjalanan spiritual bagi orangtua. Dalam homeschooling kami, pelajaran agama tidak menitikberatkan pada drill hafalan, tidak juga berisi khotbah kaku tentang moral. Bukan hafalan ayat dan doa tidak penting namun tujuan pelajaran agama kami adalah bersama anak-anak mencari tahu tugas kami di bumi ini sebagai hamba Tuhan. Juga berusaha sekuat tenaga menjadi pelayan bagi Tuhan, bukan terlalu sering meminta dalam doa untuk kepentingan diri sendiri.
Jadi kalau ditanya “Itu homeschooling pelajaran agamanya gimana ? lo panggil guru ngaji ke rumah ?”
Jawabannya..
“Nggak gw ajarin sendiri”
“Baca Al Quran gitu-gitu lo ajarin sendiri ?” ( Mungkin ragu dengan penampakanku yang sekuler haha )
“Iya sendiri, sama-sama belajar aja. Gw jadi baca-baca lagi ilmu tajwid, gw jadi buka-buka lagi deh Al-Quran”
Dan yang terpenting perjalanan spiritual kami dijalani bersama, biar saja anak-anak melihat kita rapuh, biarkan juga mereka melihat kita bangkit. Biarkan mereka melihat kasih sayang Tuhan melalui kasih sayang kita. Jangan sampe deh anak-anak jadi trauma seperti Kakak yang pernah shock karena saat umur enam tahun dengar cerita dajjal dan orang-orang dibakar di neraka dari guru. Ada saatnya mereka mengenal itu semua, namun for the time being dan sesuai usia suguhkanlah kebaikan dan kasih sayang Tuhan. Memang ini lebih menantang, karena mempelajari esensi dari agama tentu lebih sulit dibanding menghafal beragam ritual.