Berpacu Dengan Algoritma

Siapa sih kita ini ? Sebanyak-banyaknya pengetahuan kita tentang berbagai hal, satu hal yang paling kita tidak kenal adalah diri kita sendiri. Begitu sekilas pikiran yang lewat saat saya berada dalam mesin MRI untuk pemeriksaan abdomen lengkap. Segininya amat pikir saya untuk sekedar mengetahui penyebab rasa sakit luar biasa setiap tamu datang bulan tiba. Setelah dilakukan berbagai pemeriksaan barulah penyebab sakit luar biasa itu dapat diketahui, artinya kita butuh bantuan pihak lain untuk tahu ada apa pada tubuh kita. Ini baru soal mengetahui tubuh, belum lagi mengetahui apa yang ada dalam jiwa kita, sisi spiritual tak kasat mata. Tentu lebih sulit diterawang melalui mesin seperti MRI. 

“Ourselves” dan Keterampilan Abad 21

“Know thyself” begitu kata Socrates, kalimat sederhana namun bermakna dalam. Manusia didapati berusaha keras mengetahui dunia di luar dirinya tapi kadang lupa untuk menggali dirinya sendiri, entah sekedar berkaca atau merenung. Di era revolusi digital kondisi ini semakin rumit, bagaimana mau merenung kalau kita semua dituntut berlari serba cepat. Charlotte Mason (CM) pada bukunya Ourselves seperti mengajak kita untuk berhenti sejenak dan mengenali diri kita lebih intim. Berhenti sejenak, sebuah kemampuan penting abad 21 yang mungkin dianggap sebelah mata. Kita sibuk bersiap diri menambah kemampuan  agar kelak nanti bisa bersaing di bursa kerja Metaverse, sibuk menjejali anak dengan sederet kegiatan akademis yang konon katanya dapat mempersiapkan anak menjawab tantangan abad 21. Tapi mungkin kita lengah mengajak anak menengok dirinya sendiri.

Self-reverence, self-knowledge, self-control, these three are the only way your life can have sovereign power.’ Tennyson

CM membuka buku Ourselves dengan penggambaran jiwa manusia sebagai suatu kerajaan, lengkap dengan Perdana Menteri, sistem pemerintahan, kekayaan alamnya hingga bencana dan bahaya yang mengancam. Dalam sistem pemerintahan kerajaan jiwa manusia, Perdana Menteri sebagai pengambil keputusan adalah kehendak (Will), di bawahnya ada berbagai pejabat lain seperti Managers of The Revenue (Desires), Managers of The Treasury (Affections), Lord Attorney General (Reason), Lord Chief Justice (Conscience) dan yang paling rendah jabatannya adalah Assistants of The Body (Appetites). 

Tentang Nafsu

Berada di paling bawah dalam sistem pemerintahan, asisten tubuh berupa nafsu mungkin bagian yang paling mudah untuk dikenali oleh manusia. Bagian yang menjadi kebutuhan dasar manusia seperti rasa lapar, haus, lelah. CM juga menjelaskan bagaimana setiap rasa itu bisa bermanfaat bagi tubuh namun juga dapat membawa dampak buruk bagi manusia. Rasa lelah bisa menjadi baik saat tubuh kita membutuhkan istirahat, namun istirahat terlalu banyak juga dapat menyesatkan jiwa manusia. Begitu juga dengan rasa lapar yang bermanfaat bagi tubuh manusia untuk mengisinya dengan makanan, namun bisa berdampak buruk jika nafsu makan bisa berujung pada kerakusan. Sekarang pernahkah kita berhenti untuk sekedar bertanya saat kehendak kita memutuskan membeli makanan ? Benarkah makanan ini saya beli karena saya lapar ? karena saya tergoda diskon ? karena untuk memecah kebosanan ?. Mungkin pernah, mungkin juga lupa. Tanpa mengetahui bahwa dalam setiap gerakan keputusan kita selalu ada bahaya dan manfaat mungkin seringkali kita melakukan berbagai hal secara otomatis. Tidak heran kita mudah sekali tergoda iklan yang memang ditujukan untuk menggoda nafsu dan ketakutan kita. Tidak heran kalau saya lemah melihat diskon kuliner, padahal belum tentu makanan atau minuman itu memang dibutuhkan oleh tubuh saya, seperti es kopi susu gula aren misalnya. Entah berapa gelas sudah saya habiskan di tahun 2021 ini sebelum akhirnya saya memutuskan berhenti minum kopi. Anak-anak juga seperti itu, ditambah terpaan godaan cemilan kemasan di minimarket terdekat. Butuh aksi sengaja untuk membantu kami pelan-pelan berhenti dan bertanya kembali pada keputusan paling sederhana sekalipun seperti membeli makanan, dari makanan kita bisa belajar mengenali tubuh kita. 

Bersama Anak Mengenali Diri

Beruntung sekali saya mendapat anugerah bisa menjalani homeschooling bersama anak-anak, suatu perjalanan yang sebenarnya menjadi jalan ninjaku atau perjalanan spiritual bagi saya. Setiap hal yang kami pelajari rasanya lebih dari sekedar pencapaian akademis khas sekolah. Saya membaca buku Ourselves bersama teman-teman Charlotte Mason Jakarta  dan mendapati diri saya banyak tertampar, namun rasanya nikmat karena saya seperti mempunyai bekal untuk mengajak anak-anak pelan-pelan mengenali diri mereka. 

Momen-momen pembelajaran kami bukan momen duduk menghadap papan tulis, mendengarkan ceramah. Momen pembelajaran kami adalah pertengkaran, diskusi, tangis, tawa, kegembiraan, cemburu, resah, lelah. Semuanya kami jadikan momen mengenali diri kami masing-masing. Seringkali pertanyaan muncul dari orang sekitar menanyakan hasil seperti “Sudah bisa apa saja setelah homeschooling ?”. Jawaban saya, “Hmm saya juga bingung ya?” Bagaimana saya bisa gegabah ingin melihat hasil instan ? ini adalah perjalanan seumur hidup, hasilnya entah bisa terlihat 10-20-30 tahun lagi atau nanti saat kematian memisahkan. Yang jelas kami menikmati proses, namun saya cukup tahu bahwa manusia seringkali luput melihat proses, manusia lebih mudah melihat hasil. Semoga Tuhan bisa melihat proses kami dan entah apa yang akan diberikan Tuhan sebagai hasilnya. 

2022 Kami Datang

Ourselves is a Vast Country Still Unexplored” Charlotte Mason Vol.4, halaman 34

Tentunya masih luas sekali kerajaan jiwa manusia saya pribadi yang belum dieksplorasi, apakah memang itu pekerjaan jiwa manusia ? terus mencari. Mana tahu di kedalaman dan keluasan jiwa manusia di situlah letak Tuhan. Membuka tahun baru, semoga kita tidak lupa akan pekerjaan rumah kita untuk mengenali diri dan menjadikan PR ini sebagai salah satu materi pendidikan kita. Bukan berarti menitikberatkan pada kemampuan terkait profesi abad 21 tidak penting, tapi apalah artinya sederet profesi itu kalau kita jauh dengan diri kita sendiri, atau lebih buruknya lagi kita tidak bisa mengontrol diri kita sendiri. Semoga kita bisa lebih mengenal diri kita dan tak kalah berpacu dengan algoritma Zuckerberg. Amin. 

Ditulis sebagai rangkuman narasi sinau buku Ourselves bersama teman-teman Charlotte Mason Jakarta @cmidjakarta

Advertisement

Tentang Kekuatan Kehendak

Sejatinya tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter. Mungkin kita sudah sangat familiar mendengar kalimat “Pendidikan Karakter” seringkali dipakai sebagai tipu daya pemasaran institusi pendidikan. Secara kasat mata orangtua mungkin bisa melihat hasil instan bagaimana anak-anaknya berperilaku baik, tunduk pada berbagai aturan di sekolah. Namun, perilaku baik tidak ada artinya jika tidak berasal dari karakter batin seseorang.

Charlotte Mason (CM) dalam A Philosophy of Education menjelaskan tentang bagaimana karakter seseorang dapat terbentuk dengan baik jika ia dapat mengendalikan kekuatan kehendaknya. Anak dengan kehendak kuat bukanlah anak yang selalu gigih memperjuangkan apa yang diinginkannya, walaupun ia tahu yang diingikannya tidak baik baginya. Merengek meminta permen dan baru berhenti merengek ketika ia sudah mendapatkan permen, bukanlah kekuatan kehendak yang dimaksud CM. Anak dengan kekuatan kehendak adalah anak yang mampu membedakan mana yang ia inginkan dan mana yang ia kehendaki. Mungkin dia menginginkan permen, namun karena ia tahu permen tidak baik baginya maka kehendaknya akan mengatakan tidak. 

Maka tugas pendidik sangatlah berat mengantarkan anak pada pelajaran mengenali perbedaan kehendak dan keinginan. Nasihat dan pesan moral yang diberikan secara gamblang tidak akan berdampak jangka panjang, anak mungkin paham, mungkin sesaat terkesan patuh namun belum tentu ia paham perbedaan apa yang ia inginkan dan kehendaki. Anak harus tahu bahwa orang-orang yang tidak stabil, liar adalah mereka yang tidak dikendalikan oleh kekuatan kehendaknya tetapi mereka dikendalikan oleh hasrat dan dorongan impulsif. 

Lebih jauh lagi kita bisa melihat sebagai akar dari pendidikan karakter, kehendak bisa memanjang hingga ke pendidikan seks atau literasi finansial yang saat ini sedang menjadi tren. Tentu kita sering mendengar teori tentang kapan dan bagaimana mengenalkan dua topik tadi ke anak, bagaimana kita menyusun siasat menyampaikannya ke anak dan sebagainya, ini tidak salah dan patut diapresiasi. Namun, kita lupa bahwa akar dari dua topik tadi adalah kekuatan kehendak. Kapan anak bisa tahu bahwa ini sekedar nafsu belanja dan seks belaka atau apakah ia mempunyai kehendak lain.

Bagaimana kekuatan kehendak ini ditumbuhkan ? selain menyajikan anak-anak pada kisah kehidupan beragam yang tidak menggurui, CM juga mengajak pendidik membersamai anak mengenal dirinya. Anak perlu tahu bahwa setiap manusia sudah dikaruniai Tuhan beragam alat tak kasat mata untuk bertahan hidup, tinggal bagaimana manusia menggunakan alat-alat tersebut. Hasrat, cinta, kehendak, intelektual, spiritual adalah beberapa contoh alat tak kasat mata pemberiaan Sang Pencipta. Anak harus paham bahwa tugasnya di dunia ini adalah mengendalikan kekuatan besar yang ada di dalam dirinya. 

*Catatan narasi Diskusi Kamisan Komunitas Charlotte Mason Jakarta. Buku A Philosophy of Education oleh Charlotte Mason*

Bersama CM Sejauh Ini

Tidak terasa diskusi buku Volume 6 “A Philosophy of Education” sudah memasuki pekan ke-15, walaupun saya sudah melewati masa-masa diskusi bab awal Volume 6 pada awal 2019 lalu, namun aura kegalauannya masih juga terasa. Seakan diskusi ulangan ini menjadi semacam pengingat atas filosofi CM yang menjadi landasan bagi praktek kurikulum CM pada homeschooling kami. 

Mind to Mind

karenglass.net

Kembali pertanyaan itu hadir, apa hakikat pengetahuan ? , saya yang sedang berjalan menyusuri rimba homeschooling langsung berhenti sesaat, menarik nafas dan mencoba mencari-cari jawabannya. 

“Pengetahuan itu hakikatnya apa? Berabad-abad para cendekiawan berpikir tentang itu dan belum berhasil menjawabnya! Namun barangkali yang perlu kita ketahui adalah bahwa satu-satunya pengetahuan yang seseorang punya adalah yang ia serap ketika budinya secara aktif mencernanya. “

Vol 6 Halaman 12

Bagaimana budi mencerna aktif pengetahuan ? CM tidak bosan mengingatkan pendidik untuk berpegangan pada ide-ide hidup. Hanya dari ide hidup itulah pikiran bisa berkelana sibuk memuaskan dahaga rasa ingin tahu. Lalu dari mana ide hidup itu kita dapatkan ? jika memungkinkan ide hidup bisa didapat dengan berinteraksi langsung dengan mereka yang piawai dalam suatu bidang seperti Raja Nero belajar privat dengan Seneca. Namun, kesempatan seperti itu tentu langka dan tidak bisa menjadi milik siapa saja. Oleh karena itu CM menawarkan buku-buku hidup sebagai sarana pertemuan antara pemikiran dan pemikiran, mind to mind begitu istilah kerennya.

Prinsip inilah yang masih terus kami pegang sebagai landasan praktek kurikulum CM di sekolah rumah kami, prakteknya tentu tidak semudah dan seindah teori. Memberi asupan buku-buku hidup pada anak di tengah gempuran era digital ini sungguh tidak mudah Jenderal !!. Sebagai seorang pembaca buku, memberikan atmosfer saja tidak cukup, kurang rasanya hanya membiarkan anak melihat saya membolak-balik lembaran buku macam orang bener. Disiplin dan pembentukan kebiasaan merupakan tantangan tersendiri, saban hari membaca buku perlahan, mengunyahnya sedikit demi sedikit dibutuhkan kesabaran tinggi. Inilah mungkin ada benarnya jika CM berkata bahwa “Pendidikan adalah pelayan bagi agama”. Bukan tubuh tapi jiwalah yang dilayani oleh pendidikan, sehingga upaya untuk mencapai tujuan pendidikan adalah melalui kekuatan iman.

Tolak Ukur

onlinetrophies.co.uk

Lalu kalau iman, jiwa, spiritual, hantu dan semua yang tidak kasat mata menjadi landasan pendidikan, apa dong tolak ukurnya. Siapa yang bisa menilai tingkat keimanan seseorang secara objektif atau menilai budi anak bekerja setelah mendapat asupan ide. Pertanyaan ini tidak hanya pernah hadir dalam benak saya tapi juga sering muncul pada beragam diskusi dan workshop CM, netizen butuh bukti, butuh sesuatu entah untuk dipajang di lemari atau sosial media. Bisa jadi pertanyaan seperti ini ada akibat kusamnya pola pikir kita setelah sekian lama born and raised di bawah bayangan sistem pendidikan bawaan revolusi industri. Pendidikan itu ya sekolah, diukur melalui tes dan berhasil jika ijazah sudah di tangan. Saking mendarah dagingnya pola pikir ini sampai-sampai kita lalai dengan alternatif lain.

Kita mungkin lupa pada tokoh Dark Phoenix dalam film X-Men yang menjadi mutan terkuat dengan kekuatan telephatic membaca dan mengendalikan pikiran. Tokoh fiksi itu mengingatkan kita bahwa kekuatan terbesar manusia adalah pikiran, kita lupa untuk selalu kembali ke pikiran dan tak lelah menatanya hingga mampu adil sejak dalam pikiran seperti kata Pram. Dengan kekuatan super itu mungkin kita bisa terus menerus berefleksi, mengakui kegagalan dan mensyukuri kemenangan. Oleh sebab itu pada metode pendidikan CM tidak ada suatu praktek yang pasti, tidak ada juga tawaran menghamba pada suatu titik esktrem. Anak boleh jadi merdeka, born persons namun anak juga harus memiliki ketaatan pada prinsip.

Godaan Idealisme Tinggi

darksidetoy.com

Membaca lembar demi lembar segala materi CM, membuat jiwa lemahku bergejolak. Bagaimana tidak, CM mematok target tinggi pendidikan bagi anak melebihi passing grade SMA 1 Bogor ( Sekolah saya ini ). Tidak jarang jiwa lemah ini terintimidasi dengan idealisme tinggi nan lurus, manis, baca buku, anti-game, anti-sosmed. Sampai akhirnya jiwa ini lelah (sudah lemah, lelah pula) lalu memilih untuk kembali menata ulang pikiran sendiri. Tujuan boleh tinggi, prakteknya pelan dan resapi beragam pemandangan yang ada.

Dalam praktek metode CM, buku hidup adalah sesajen, namun jika ide hidup didapat dari buku-buku hidup, apakah lantas anak tidak boleh mengkonsumsi film ? video musik ? . Karen Andreola pernah menyatakan kebanggaan dalam bukunya  A Charlotte Mason Companion bahwa anaknya tidak tahu Michelangelo adalah salah satu anggota Kura-Kura Ninja, di benak anak Mbak Karen Michelangelo adalah seniman era Renaissance. Bagi saya pribadi, memangnya apa yang salah dengan mengetahui budaya pop ?. Jika diminta memilih membaca Marcus Aurelius atau menyaksikan The Dark Knight, nature walk atau nonton Chelsea vs Manchester City rasanya saya tidak bisa. Dari semuanya itu ada relasi, kitanya saja yang mungkin kadang menemukan, kadang tidak. Bukankah dunia ini sendiri sudah fitrahnya beragam ? kembalikan saja semuanya pada prinsip paling dasar, bahwa pendidikan adalah tangan kanan agama. Dengan agama sebagai prinsip dasar, anggap saja Tuhan ada di mana-mana dan sedang berbicara pada kita melalui segala ciptaanNya.

@cmidjakarta

Seperti Apa Belajar Agama Dalam Homeschooling Kami ?

Dalam metode pendidikan Charlotte Mason terdapat 20 butir prinsip pendidikan yang menjadi fondasi. Namun dari 20 butir tersebut sebenarnya hanya dua yang menjadi induk dari butir-butir lainnya. Menurut Karen Glass kedua prinsip induk itu adalah “Children are born persons” dan “Education is the science of relations”. Kali ini saya akan membahas yang kedua terlebih dulu karena terkait dengan pembahasan pada diskusi komunitas Charlotte Mason Jakarta yang sedang membahas tentang Tuhan. Wow berat ya ? ini komunitas parenting atau sekte yang mengkultuskan CM sih ? hahaha. 

Continue reading “Seperti Apa Belajar Agama Dalam Homeschooling Kami ?”

Keseharian Menggunakan Metode Charlotte Mason : Living Books dan Narasi

 

IMG_5958

Sering kali ketika berbincang dengan teman soal homeschooling, pasti yang tidak pernah tertinggal untuk ditanyakan adalah soal jadwal pelajaran, buku yang digunakan dan segala hal teknis lainnya. Sebenernya hal teknis ini sifatnya sangat plastis dan fleksibel, orangtua harus sering trial dan error, apa yang cocok di keluarga saya belum tentu cocok di keluarga lain. Dengan menggunakan metode Charlotte Mason pun saya tidak 100% mengacu pada amblesideonline. Suatu kenikmatan dari metode Charlotte Mason adalah metodenya yang memberikan ruang bagi orangtua untuk selalu berefleksi dan menanyakan kembali tujuan dari setiap langkah yang kita ambil. Untuk urusan praktik, bahkan masing-masing praktisi Charlotte Mason pun bisa berbeda-beda, tantangannya adalah bagaimana praktik itu tetap sejalan dengan filosofi ibu Mason.

Sejak homeschooling target saya pada setiap gemblengan akademis anak berubah total. Dulu waktu sekolah, target-target saya sekedar “Yang pentiing PR kamu selesai” “Yang penting guru kamu gak manggil mamah lagi ke sekolah” “Yang penting kamu ngerti dan gak perlu remedial” and worst “Yang penting naik kelas” . Sekarang, sehari-hari salah satu tujuan gemblengan akademis kami adalah memberikan anak sesuatu untuk dipikirkan, sesuatu untuk dilakukan dan sesuatu atau seseorang untuk dicintai, seperti yang dirumuskan oleh Karen Andreola dalam bukunya Charlotte Mason Companion.

Continue reading “Keseharian Menggunakan Metode Charlotte Mason : Living Books dan Narasi”

Pintar Saja Tidak Cukup

FullSizeRender

Tujuan pendidikan itu memang harus tinggi, gak bisa main-main. Bahkan tujuan pendidikan harus lebih dari sekedar menjadikan manusia berguna bagi masyarakat. “Belanda yang datang ke sini sebagai penjajah juga berguna bagi masyarakatnya, tapi di sini banyak yang ditindas” begitu celoteh seorang teman dalam diskusi komunitas CM hari ini.

Tanpa tahu tujuan tentunya kita akan kesulitan menentukan langkah, kesulitan menentukan sarana. Hal ini penting karena di era banjir informasi, semua sarana terpampang nyata menunggu untuk kita gunakan, salah satunya adalah kurikulum.

“Kurikulum ini adalah program belajar yang dilandaskan pada hak manusia untuk memperoleh pendidikan. Sangat luas, tapi kita tidak boleh sebut sebagai mustahi, tidak boleh pula kita hanya pilah-pilih bagiannya, mendidiknya di aspek ini tapi tidak di aspek itu. Kita bahkan tidak boleh mendiskriminasi antara sains dan humaniora” Charlotte Mason Vol. 6 Hlm 158

Bagaimana menyusun kurikulum untuk mencapai tujuan mulia pendidikan ? tujuan apakah yang lebih dari “berguna bagi masyarakat” ?

Continue reading “Pintar Saja Tidak Cukup”

Podcast Buat Apa Sekolah : Buku Sebagai Jimat Homeschoooling

Kalau ditanya kegiatan homeschooling-nya ngapain aja ? Jawabannya : Baca Buku !

Setiap hari kami memulai kegiatan akademis yang biasa kami sebut “Kelas” di pagi hari dengan fokus pada buku-buku hidup. Dalam metode Charlotte Mason (CM) buku yang sebaiknya digunakan dikenal sebagai Living Books (LvB), yaitu buku yang menyajikan ide bagi pembacanya. Tidak seperti lawannya yang CM sebut Twaddle, adalah buku yang kering dengan fakta-fakta atau pesan moral yang sudah “dikunyah” terlebih dulu oleh penulisnya. Lalu bagaimana kami menggunakan LvB sebagai sarana belajar dengan metode narasi ?

Continue reading “Podcast Buat Apa Sekolah : Buku Sebagai Jimat Homeschoooling”

Apa Tujuan Pendidikan ?

Charlotte Mason Indonesia-Jakarta

Pertemuan bersama teman-teman dari Charlotte Mason Indonesia (CMid) selalu membuat saya berhenti sejenak dan berefleksi. Seperti saat pertemuan kami di bulan Oktober ini yang membahas filosofi pendidikan membuat saya menerawang jauh dan bertanya kembali “apa tujuan pendidikan ?” . Cukup lama saya merenung dan melihat jauh ke belakang untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu, saya mencoba mengingat-ingat apa tujuan pendidikan yang saya tangkap ketika saya memasukan anak saya ke sekolah sejak usia 6 bulan!!. Iya, 6 bulan!! entah kemasukan setan atau sekedar ikut-ikutan pokoknya saya pernah memasukan Kakak ke sebuah lembaga, membayar sekian juta rupiah untuk belajar merangkak hahaha.

Continue reading “Apa Tujuan Pendidikan ?”

Mother Culture Workshop : Kerja Spiritual Orangtua Adalah Melawan Entropi

IMG-20190420-WA0022.jpg

 

Sabtu lalu saya hadir pada sesi workshop Mother Culture bersama Mba Ellen Kristi, Pendiri Charlotte Mason Indonesia.  Pada sesi workshop kali ini, saya merasa dipreteli, diajak naik mesin waktu untuk melihat ke masa lalu dan masa depan. Baru awal pembukaan saja, Mba Ellen sudah bertanya , “Apa sih kerja orangtua itu?” “Kerja spiritual” jawab beliau. Dalam konsep pendidikan CM, ada tiga fondasi untuk membangun pendidikan karakter anak, yaitu atmosfer, disiplin dan living ideas. Pada sesi Mother Culture ini tentu saja yang dibahas adalah atmosfer, bagaimana menciptakan atmosfer yang sehat dalam keluarga ?.

Continue reading “Mother Culture Workshop : Kerja Spiritual Orangtua Adalah Melawan Entropi”

Pendidikan Adalah Keyakinan

Mencari pendidikan alternatif sudah saya lakukan sejak terpapar oleh Totto-Chan. Saking putus asa, saya sempat berpikir apa perlu nih saya masukin anak saya ke Summerhill (A.S Neill) atau sekolah swasta dengan tuition fee setara MM-UI. Namun setelah riset berkepanjangan, juga menimbang masalah biaya, saya pun nyerah. Mungkin memang pendidikan yang saya idam-idamkan itu hanyalah utopia belaka. Sehingga, pergulatan batin pun berakhir dengan kepasrahan dan memasukan Kakak ke sekolahnya hanya dengan pertimbangan jaraknya dekat dari rumah hahaha. Saya pikir pusing-pusing amat lah mikir cari sekolah ideal, lah emang menurut saya semua sama aja, gitu-gitu aja. “Gitu-gitu aja” yang saya maksud adalah dari zaman saya sekolah sampai sekarang ya tidak terlalu banyak perubahan berarti dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.

Sampai pada suatu ketika turning point itu hadir, saat beragam masalah saya hadapi terkait perilaku, minat belajar dan minat baca Kakak. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk mengeluarkan Kakak dari sekolah dan menjadi praktisi homeschooling. Beruntung sekali saat akhirnya berani mengambil jalur pendidikan yang non-mainstream ini membawa saya pada sosok Charlotte Mason (CM).

Gara-gara CM saya jadi terbawa untuk berpikir ulang tentang pendidikan, apa sih pendidikan itu ? Nah lho..!!. Jerman pada masa Perang Dunia menjadikan pendidikan bersifat utilitarian, bahasa kerennya azas manfaat hehe, ya kalo lo gak bisa dipake untuk jadi buruh pabrik, bikin senjata atau jadi tentara, yaudah BYE !! . Ini berhubungan nih sama ucapan yang sering kita dengar “Sekolah yang pintar ya supaya bisa cari duit”, Marxis banget dah..haha, apa iya itu tujuan pendidikan ? mengejar materi ?. Menurut CM “Pendidikan haruslah menyentuh jiwa agar para siswa meminatinya” Bah!! apa pula itu korelasi antara jiwa dan pendidikan?. Jawaban dari pertanyaan ini dikembalikan lagi ke kredo utama pendidikan CM yaitu “Anak adalah pribadi utuh”.  CM menilai anak-anak sering dikecilkan dengan memberikan mereka bubur padahal mereka sebenarnya mampu mencerna nasi. Bahwa buku-buku yang tersaji di sekolah sudah dicerna sebelumnya oleh orang dewasa, sehingga anak-anak hanya mendapat sisa lepehan saja pada buku teks. Absennya ide-ide pada buku teks dan materi belajar anak, telah membuat jiwa anak-anak lapar, budi mereka kesepian. Pastinya bukan ini yang CM mau, untuk apa bergelimang materi dan terkenal kalau budi seseorang menjadi kering, kosong atau bahkan mati.

Lalu, bagaimana membuat budi menjadi hidup dan tumbuh sehat ? untuk hal ini CM menawarkan tidak lain dan tidak bukan….eng ing eng ternyata gak jauh-jauh dari kehidupan saya, BUKU. Buku hidup atau Living Books dengan bahasa sastra yang ditulis tanpa merendahkan anak menurut CM dapat menjadi makanan bagi budi anak. Sama seperti tubuh yang membutuhkan makanan sehat, begitu pula dengan budi asupannya harus sehat. Saat anak melakukan perjamuan ide dengan buku-buku berkualitas, saat itulah budi anak tergugah, pikirannya menari-nari. Apakah dengan begini anak-anak dijamin dapat mengerti dan langsung meresapi karya Orwell ? Harper Lee ? . Tenang sis, CM senang sekali dengan yang namanya proses panjang, baby steps yang perlahan tapi tekun.

Dalam mengasah kemampuan literasi, CM mengajak anak-anak untuk menarasikan bacaannya dengan bahasa mereka sendiri. Orangtua atau guru sebagai fasilitator diharapkan tidak melakukan intervensi terlalu banyak dengan mengajukan pertanyaan komprehensif pada anak. Biarkan saja anak-anak mengolah sendiri bacaan mereka, tugas kita adalah menyajikan sebanyak-banyaknya buku berkualitas. Serta sebuah keyakinan besar bahwa kita percaya mereka bisa mencerna ide-ide besar itu secara mandiri, sama seperti kita percaya tubuh anak dapat mencerna sendiri apa yang mereka makan. Secara bertahap kenalkan bacaan berkualitas pada anak, ikuti kemampuannya, jika terlalu sulit turunkan, jika anak sudah mahir naikkan. Percaya bahwa anak adalah pribadi utuh, percaya bahwa mereka bukan makhluk bodoh dan saat kita merasa ragu ingatlah apa kata CM bahwa education is faith, pendidikan adalah keyakinan.

**Tulisan ini adalah bagian dari narasi perjamuan ide bersama para ibu CMers Jakarta. Difasilitasi oleh Mba Ayu Primadini, selama satu bulan ini kami membahas Bab 1 Self Education  dari Vol.6 Towards a Philosophy of Education