
Tidak terasa diskusi buku Volume 6 “A Philosophy of Education” sudah memasuki pekan ke-15, walaupun saya sudah melewati masa-masa diskusi bab awal Volume 6 pada awal 2019 lalu, namun aura kegalauannya masih juga terasa. Seakan diskusi ulangan ini menjadi semacam pengingat atas filosofi CM yang menjadi landasan bagi praktek kurikulum CM pada homeschooling kami.
Mind to Mind

Kembali pertanyaan itu hadir, apa hakikat pengetahuan ? , saya yang sedang berjalan menyusuri rimba homeschooling langsung berhenti sesaat, menarik nafas dan mencoba mencari-cari jawabannya.
“Pengetahuan itu hakikatnya apa? Berabad-abad para cendekiawan berpikir tentang itu dan belum berhasil menjawabnya! Namun barangkali yang perlu kita ketahui adalah bahwa satu-satunya pengetahuan yang seseorang punya adalah yang ia serap ketika budinya secara aktif mencernanya. “
Vol 6 Halaman 12
Bagaimana budi mencerna aktif pengetahuan ? CM tidak bosan mengingatkan pendidik untuk berpegangan pada ide-ide hidup. Hanya dari ide hidup itulah pikiran bisa berkelana sibuk memuaskan dahaga rasa ingin tahu. Lalu dari mana ide hidup itu kita dapatkan ? jika memungkinkan ide hidup bisa didapat dengan berinteraksi langsung dengan mereka yang piawai dalam suatu bidang seperti Raja Nero belajar privat dengan Seneca. Namun, kesempatan seperti itu tentu langka dan tidak bisa menjadi milik siapa saja. Oleh karena itu CM menawarkan buku-buku hidup sebagai sarana pertemuan antara pemikiran dan pemikiran, mind to mind begitu istilah kerennya.
Prinsip inilah yang masih terus kami pegang sebagai landasan praktek kurikulum CM di sekolah rumah kami, prakteknya tentu tidak semudah dan seindah teori. Memberi asupan buku-buku hidup pada anak di tengah gempuran era digital ini sungguh tidak mudah Jenderal !!. Sebagai seorang pembaca buku, memberikan atmosfer saja tidak cukup, kurang rasanya hanya membiarkan anak melihat saya membolak-balik lembaran buku macam orang bener. Disiplin dan pembentukan kebiasaan merupakan tantangan tersendiri, saban hari membaca buku perlahan, mengunyahnya sedikit demi sedikit dibutuhkan kesabaran tinggi. Inilah mungkin ada benarnya jika CM berkata bahwa “Pendidikan adalah pelayan bagi agama”. Bukan tubuh tapi jiwalah yang dilayani oleh pendidikan, sehingga upaya untuk mencapai tujuan pendidikan adalah melalui kekuatan iman.
Tolak Ukur

Lalu kalau iman, jiwa, spiritual, hantu dan semua yang tidak kasat mata menjadi landasan pendidikan, apa dong tolak ukurnya. Siapa yang bisa menilai tingkat keimanan seseorang secara objektif atau menilai budi anak bekerja setelah mendapat asupan ide. Pertanyaan ini tidak hanya pernah hadir dalam benak saya tapi juga sering muncul pada beragam diskusi dan workshop CM, netizen butuh bukti, butuh sesuatu entah untuk dipajang di lemari atau sosial media. Bisa jadi pertanyaan seperti ini ada akibat kusamnya pola pikir kita setelah sekian lama born and raised di bawah bayangan sistem pendidikan bawaan revolusi industri. Pendidikan itu ya sekolah, diukur melalui tes dan berhasil jika ijazah sudah di tangan. Saking mendarah dagingnya pola pikir ini sampai-sampai kita lalai dengan alternatif lain.
Kita mungkin lupa pada tokoh Dark Phoenix dalam film X-Men yang menjadi mutan terkuat dengan kekuatan telephatic membaca dan mengendalikan pikiran. Tokoh fiksi itu mengingatkan kita bahwa kekuatan terbesar manusia adalah pikiran, kita lupa untuk selalu kembali ke pikiran dan tak lelah menatanya hingga mampu adil sejak dalam pikiran seperti kata Pram. Dengan kekuatan super itu mungkin kita bisa terus menerus berefleksi, mengakui kegagalan dan mensyukuri kemenangan. Oleh sebab itu pada metode pendidikan CM tidak ada suatu praktek yang pasti, tidak ada juga tawaran menghamba pada suatu titik esktrem. Anak boleh jadi merdeka, born persons namun anak juga harus memiliki ketaatan pada prinsip.
Godaan Idealisme Tinggi

Membaca lembar demi lembar segala materi CM, membuat jiwa lemahku bergejolak. Bagaimana tidak, CM mematok target tinggi pendidikan bagi anak melebihi passing grade SMA 1 Bogor ( Sekolah saya ini ). Tidak jarang jiwa lemah ini terintimidasi dengan idealisme tinggi nan lurus, manis, baca buku, anti-game, anti-sosmed. Sampai akhirnya jiwa ini lelah (sudah lemah, lelah pula) lalu memilih untuk kembali menata ulang pikiran sendiri. Tujuan boleh tinggi, prakteknya pelan dan resapi beragam pemandangan yang ada.
Dalam praktek metode CM, buku hidup adalah sesajen, namun jika ide hidup didapat dari buku-buku hidup, apakah lantas anak tidak boleh mengkonsumsi film ? video musik ? . Karen Andreola pernah menyatakan kebanggaan dalam bukunya A Charlotte Mason Companion bahwa anaknya tidak tahu Michelangelo adalah salah satu anggota Kura-Kura Ninja, di benak anak Mbak Karen Michelangelo adalah seniman era Renaissance. Bagi saya pribadi, memangnya apa yang salah dengan mengetahui budaya pop ?. Jika diminta memilih membaca Marcus Aurelius atau menyaksikan The Dark Knight, nature walk atau nonton Chelsea vs Manchester City rasanya saya tidak bisa. Dari semuanya itu ada relasi, kitanya saja yang mungkin kadang menemukan, kadang tidak. Bukankah dunia ini sendiri sudah fitrahnya beragam ? kembalikan saja semuanya pada prinsip paling dasar, bahwa pendidikan adalah tangan kanan agama. Dengan agama sebagai prinsip dasar, anggap saja Tuhan ada di mana-mana dan sedang berbicara pada kita melalui segala ciptaanNya.
