Lanjutan dari tantangan Melacak Warisan Jepang dari Jaladwara Wisata Arkeologi, Rumah Inspirasi dan Garasi adalah berkujung ke Kelurahan. Sebelum ke Kelurahan, Kakak penasaran sama KTP anak, lalu apa saja yang ia dapat dari kunjungan kali ini. Berikut laporannya.
Kalau ditanya kenapa homeschooling rasanya banyak sekali jawabannya sampai bingung mau mulai dari mana, walau intinya sih karena kami galau dengan sistem pendidikan di negara ini. Di blog ini pun saya tulis beberapa alasan mengapa saya pilih homeschooling, sengaja saya share supaya mungkin berguna bagi yang sedang berpikir mau mengambil jalur homeschooling bagi pendidikan anaknya.
Dulu waktu saya kecil ada satu buku yang saya selalu ingat sampai sekarang. Buku itu sangat membekas sekali di pikiran saya sampai saya selalu berkhayal ingin seperti si Gadis di buku itu. Buku Totto Chan : Gadis Cilik di Jendela adalah salah satu buku favorit saya yang karakter dan ceritanya merasuk sampai ke hati :D. Di buku itu sang penulis Tetsuko Kuroyanagi bercerita tentang masa-masa indahnya bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah bernama Sosaku Kobayashi.
Kenapa Tomoe Gakuen begitu istimewa ? Padahal sekolah ini bukan sekolah dengan biaya bombastis, bukan juga sekolah terkenal atau sekolah dengan sederet piala di ruang guru. Bagi saya, Tomoe Gakuen adalah sekolah yang bersahaja. Pak Kepala Sekolah sangat menghargai karakter dan keunikan masing-masing anak, bagi Kepala Sekolah tidak ada anak yang bodoh, baginya semua anak secara alamiah pintar dan punya rasa ingin tahu yang sangat besar sekali. Sedikit banyak memang gaya mendidik Sosaku Kobayashi mirip dengan Charlotte Mason. Seperti belajar dari alam, bergerak mengikuti musik, habit training dengan membaca berbagai karya sastra serta menganggap anak-anak sebagai pribadi utuh. Tidak pernah Kepala Sekolah menganggap anak-anak itu hanya pribadi kecil yang dikecilkan. Buku Totto Chan juga menggarap banyak sekali isu-isu dalam kehidupan. Beberapa diantaranya adalah soal keberagaman, dalam buku ini tersaji berbagai karakter teman-teman totto-chan, ada yang senang matematika, ada yang disabilitas. Ada juga isu lainnya seperti perundungan yang dapat kita lihat di bab “Masow-Chan”.
Gara-gara buku ini lah dulu saya berkhayal ingin sekali sekolah di sekolah seperti Tomoe Gakuen, apa daya sekolah saya dari TK sampai SMA sampai era anak saya sekolah tidak ada yang mirip sedikitpun hahaha. Saat ini memang sudah banyak sekolah progresif dengan metode belajar yang tidak terlalu kaku, namun biasanya hadir dengan biaya mahal atau dalam satu kota hanya ada beberapa biji sehingga untuk pergi ke sekolah harus lintas propinsi haha. Akhirnya, saya berpikir “Kenapa gak gw bikin sendiri aja itu modelan Tomoe Gakuen?” hehe dan akhirnya saya memutuskan untuk homeschooling. Sambil menunggu sistem pendidikan di negara ini setidaknya mendekati sistem pendidikan di Finlandia, kami rela berjuang dan menikmati proses mendidik anak kami secara mandiri. Sebelum sampai ke arah situ, rasanya homeschooling aja deh. :D.
Praktisi homeschooling pasti sudah tidak asing lagi dengan kalimat dari Nenek Charlotte Mason ini. Seperti ditulis Ellen Kristi di bukunya Cinta Yang Berpikir, “Pendidikan adalah atmosfer” bukan berarti mengekang anak-anak dalam satu ruangan artifisial, namun memanfaatkan apa yang ada di dunia nyata dan menyajikan berbagai kesempatan dalam lingkungan alamiah anak-anak. Melalui apa yang sudah disediakan Sang Pencipta di dunia ini lah anak-anak dapat belajar dengan bebas dari orang-orang sekitarnya, dari alam dan segala yang ada di dunia ini.
Berangkat dari filosofi tersebut, maka kami sekeluarga sepakat membuat agenda terjun ke alam bebas menjadi rutin. Jika tidak memungkinkan satu pekan sekali yaa setidaknya satu bulan sekali. Setelah sempat camping, terjun ke sawah, hiking sekarang lanjut lagi hiking dengan medan yang lebih menantang. Kebetulan memang Kakak ada bakat kinestetik sehingga di alam ini lah rasanya she found her element. Dulu saya pikir “Wajar lah Kakak gak mau diem, semua anak-anak pasti begitu”, ternyata anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Saya lihat pada saat hiking hanya ada tiga anak yang selalu jadi garda depan alias energinya gak habis-habis dan salah satu dari tiga anak itu tentu saja si Kakak hehe.
Untuk hiking kali ini kami barengan sama komunitas Jejak Kecil pergi ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tidak hanya berjalan mendaki menyusuri hutan, kami juga singgah di curug Cibadak dan melihat Suaka Elang Loji. Saat tiba di Curug setelah mendaki sejauh 2 KM kami berenang dan sempat minum langsung dari air terjun yang juga merupakan sumber mata air. Kakak juga sempat membuat karya seni rock balancing bersama teman-temannya, seni yang membutuhkan konsentrasi dan kalem tingkat tinggi, not bad for a start lah ya hasilnya..hehe.Selain menghasilkan pertemanan baru dan cerita seru, hiking kali ini juga menyisakan pelajaran baru bagi Kakak. Bagi Kakak yang grabak grubuk, hiking sukses membuat dia belajar menahan diri dan stay humble. Siapa sih manusia yang mau sombong ketika berhadapan dengan alam? . Sepulang dari hiking seperti biasa kami santai-santai menikmati perjalanan pulang dengan diskusi ringan.
“Kenapa tadi Kakak jatuh ?” “Iya aku buru-buru. Mestinya aku pelan-pelan aja”
“Now you know…” dalam hati hehe, tapi biarlah dia yang menyimpulkan sendiri. Begitulah kira-kira cerita belajar dari alam kami kali ini. When the world is your classroom, learning is as natural as breathing.
Benar adanya theme song Keluarga Cemara ini, sebagai seorang ibu dan anak, saya selalu bersyukur punya keluarga besar yang selalu mendukung dalam suka dan duka. Untuk itulah saya selalu semangat mengenalkan Kakak kepada keluarga besar saya dan suami. Pada trip deschooling kami ke Jepang, saya senang sekali mendapat kesempatan untuk bertemu keluarga angkat suami. Jadi ceritanya, suami saya ini dulu waktu SMA sempat melakukan pertukaran pelajar ke Jepang dan tinggal bersama keluarga angkat yang sampai saat ini masih berhubungan. Pertukaran pelajar itu terjadi 20 tahun yang lalu dan pada 2018 ini suami berkesempatan untuk mengunjungi kembali keluarga angkatnya.
Kami berangkat pagi hari saat matahari kota Osaka masih malu-malu, langit mendung pun semakin lama meneteskan hujan kecil. Namun, hal itu tidak menurunkan semangat kami mengejar jadwal kereta menuju kota kecil bernama Yaita di Prefektur Tochigi. Perjalanan kami cukup panjang waktu itu, semakin terasa panjang karena ada Adek yang harus makan, tidur tepat waktu sesuai rutinitasnya. Berawal dari Osaka Station naik Shinkansen menuju Tokyo lalu Utsunomiya dan terakhir kereta Commuter Line ke Yaita (saya sebut begitu karena gerbongnya persis gerbong Commuter Line Jabodetabek hehe).
Sampai di stasiun kota Yaita rasa lelah kami menempuh perjalanan panjang terbayar dengan sambutan hangat Ayah dan Ibu angkatnya suami. Mereka menjemput kami di stasiun dan menyediakan kami makan malam rumahan yang rasanya melebihi rasa fine dining Japanese Food manapun di Indonesia hahaha. Rumah keluarga ini juga sangat luas dan indah, disinilah kami mendapat kasur ternikmat setelah dua pekan kami memaksimalkan kamar minimalis Airbnb.
Kelezatannya membuat saya berhenti makan hanya karena malu. LOL!! Gak kenyang-kenyang guys..AlhamdulilahPelajaran sekolah kami hari ini : Hirup udara segarAdek seperti biasa dengan gaya andalannya : Telanjang Kaki 😀
Keesokan harinya kami diantar jalan-jalan menikmati keindahan kota Yaita dan Nikko, mengunjungi kuil, museum dan memetik apel. Banyak sekali yang dapat Kakak pelajari pada kunjungan ke Yaita ini, seperti mengenal perbedaan dan sosialisasi lintas umur. Jujur saja pada saat kunjungan ini, saya tidak terlalu banyak bicara karena kendala bahasa itu nyata adanya sodara-sodara. Saya tidak bisa bahasa Jepang sementara keluarga angkat kami ini sama sekali tidak bisa bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia haha. Ujung-ujungnya saya menggunakan Google Translate dan minta suami aja lah jadi penerjemah bahasa Jepang.
The Kobori yang baik hati. Super Love !!
Dengan adanya kendala bahasa ini saya salut sama Kakak karena dia tanpa canggung bicara sekenanya, dia pakai bahasa Indonesia dan dijawab bahasa Jepang begitu seterusnya. Selama di Yaita, Kakak juga ditemani oleh sepupu angkatnya, Ko dan lagi-lagi mereka bermain dengan bahasa masing-masing, tapi entah bagaimana kok akrab-akrab aja ya hehe. Namun yang paling membekas buat Kakak adalah ketika dia melihat sejarah Bapaknya. Di rumah Obachan, Kakak melihat kamar Bapak zaman highschool, melihat rute sekolah Bapak dan mendengarkan cerita tentang masa muda Bapak dari Nenek Obachan.
Muka bahagia setelah makan siangWhen the world is your classroom, you can learn from appleBahasa tidak menjadi penghalang bagi kami untuk bersenang-senang
Petualangan kami di Yaita menjadi penutup deschooling trip kami di Jepang. Tidak disangka semula saya kira ini akan membuat Kakak bosan karena tinggal di rumah orang tua dan di desa pula. Ternyata di travel journal miliknya, Kakak menulis kunjungan ke Yaita adalah yang paling berkesan. Katanya “Kalau waktu di sekolah, teman-teman ku yang pulang dari Jepang selalu cerita Disneyland sama Shinkansen, tapi ga ada yang cerita ke rumah nenek angkat orang Jepang beneran” . LOL !!
September 2018 menjadi bulan bersejarah bagi keluarga kami, bukan karena itu ulang tahun ibu icha avrianty hehe tapi karena bulan September kami memutuskan mulai menjadi praktisi homeschooling. Artinya per September 2018 kami bebas menentukan kapan harus traveling karena tidak terikat cuti kantor serta liburan sekolah, artinya juga kami bisa traveling pada saat low season hehehe. Jadi lah September 2018 kami pergi ke Jepang.
Sejak keluar dari sekolah, anak-anak homeschooling biasanya harus melewati fase deschooling, semacam masa transisi dari sekolah ke homeschooling. Berapa lama kah proses deschooling ini ? Idealnya 1 tahun sekolah sama dengan 1 bulan deschooling. Karena Kakak sudah melewati 2 tahun usia sekolah artinya idealnya proses deschooling berlangsung selama 2 bulan. Namun, karena prinsip HS keluarga kami adalah fleksibilitas, jadi proses deschooling ini pun kami jalani mengikuti perkembangan Kakak. Lalu, dimulai lah proses deschooling di Jepang. Sebagai praktisi homeschooling tentu saja kami tidak mau traveling hanya menjadi sekedar jalan-jalan apalagi buang-buang duit untuk shopping haha. Pokoknya, harus ada ilmu yang dibawa pulang, memori yang akan dikenang anak seumur hidup dan membangkitkan rasa penasaran anak sebagai bahan bakar dia untuk belajar.
Homemade Travel Journal
Menulis Jurnal Day 3 di apartemen Airbnb kami di Tokyo
Sebagai worldschooler kadang kelas Kakak bisa jalan 100km/jam 😀
Sebelum berangkat, saya membekali Kakak dengan travel journal lengkap dengan kamera instax. Tugasnya sederhana, setiap hari Kakak harus menulis perjalanannya selama di Jepang, menulis apa saja yang menarik atau tidak enak buat dia. Walau sederhana tapi untuk Kakak lumayan menantang. Ini karena selama di sekolah, Kakak tidak pernah menemukan tujuan dia menulis, untuk apa ya aku menulis ?, kenapa aku harus menulis sesuatu yang aku gak suka ?, bagaimana aku memformulasikan ide ?. Belum selesai pertanyaan itu, Kakak sudah dicap punya tulisan jelek LOL. Ternyata, ketika Kakak menemukan tujuannya dan dilakukan dengan sukacita, tanpa ada pemaksaan dan perang urat syaraf dia mau menulis. Perjalanan menuju sempurna memang masih panjang, but i love baby steps, i love small progress, jadi walau masih sederhana banget hasilnya, namun ada kemajuan dari jurnal hari pertama sampai hari terakhir. This is where the beauty of homeschool works, bagaimana HS bisa berjalan mengikuti kecepatan belajar masing-masing anak, karena dalam dunia pendidikan harusnya kita semua percaya kalau tidak ada anak yang bodoh. Semua anak unik dengan kekuatan dan kekurangan mereka masing-masing. (Bersambung)
Padahal saya tahu kok hari itu ada tugas dari sekolah karena sudah dapat info dari whatsapp grup kelas hehe tapi kok si kakak selalu cuek amat ya, kelewat cuek. Saya pun bertanya, apakah pelajaran yang dijadikan tugas itu menyulitkan dia. Setelah saya ajak baik-baik mengerjakan tugas ternyata kakak paham dan bisa mengerjakannya. Lalu, kenapa setiap ada tugas atau mau ada ulangan selalu sebodo amat seakan gak ada semangat. Saya tahu anak saya dan mungkin anak-anak lain juga ketika kecil mereka adalah natural born learner. Curiosity kakak kadang membuat saya kewalahan.
Sekarang di manakah mata berbinar penasaran penuh pertanyaan kritis itu ? Saya terlalu lengah sampai telat menyadarinya kalau itu memudar. Walau kakak tidak pernah mengeluh pergi ke sekolah, tapi minat belajar nya nyaris nol. Hal yang membuat dia semangat pergi ke sekolah hanya karena dia akan bermain dan bertemu teman-temannya. Apakah anak saya bodoh ? Saya yang dulu percaya bahwa setiap anak unik, mulai ragu akan teori itu dan bertanya-tanya, apakah anak saya tidak mampu belajar ?.
Berusaha bangkit dari zona nyaman, saya pun akhirnya introspeksi diri melihat kembali apa yang sudah saya lakukan. Saya mulai mencari bantuan, sibuk bertanya sana-sini, bergabung dengan komunitas ibu-ibu, parenting dan sebagainya. Paralel dengan pembenahan diri saya dan suami sebagai orangtua, saya bertekad untuk mencari sekolah baru untuk kakak. Belanja sekolah pun kami lakukan, you name it deh dari yang berbasis agama, sekolah negeri sampai yang mengusung kurikulum internasional dengan harga aduhai. Siap tempur lah kami karena sadar sekolah yang nyaris memenuhi kriteria kami harganya gak main-main. Kakak pun sempat saya daftarkan untuk pindah ke sekolah swasta itu, saya sudah ketemu guru-gurunya bahkan ketemu foundernya :D. Ketika nyaris menggelontorkan tabungan seumur hidup (lebay) haha tiba-tiba saya teringat konsep homeschooling.
Konsep lawas yang sempat saya telusuri ketika masih di bangku kuliah dan amazingly gak pernah kepikiran lagi ketika saya memutuskan untuk mempunyai anak. Wow !! kemana aja lo cha hehe..Setelah sedikit bertanya ke teman saya yang praktisi homeschooling, saya memulai proses “meditasi” riset konsep homeschooling ini. Akhirnya, September 2018 setelah “meditasi” panjang dan tentu saja dengan persetujuan suami dan kakak Gwen, Bismillahirohmanirohim..Gwen resmi keluar dari sekolah.. Yeayyyy hahaha (Bersambung..)