Minimalist Homeschooler Menghadapi Musim Liburan

Memasuki akhir tahun seperti biasa hiruk pikuk libur mulai terasa terutama di berbagai mall di kota besar. Tentu saja setiap musim liburan menjadi tantangan tersendiri buat saya sebagai orangtua. Tantangannya adalah bagaimana menahan diri untuk memanjakan anak-anak dengan mudah, gimana gak mudah saat setiap mall penuh dengan beragam event dan diskon yang semuanya mengambil manfaat liburan ini untuk menguras dompet orang tua haha. Menjadi sulit bagi saya karena saya sebetulnya mampu-mampu saja menyisihkan sebagian uang untuk belanja berbagai macam mainan dengan misi yang penting anak senang.

Sejak ngikutin The Minimalists dan setelah nonton The Men Who Made Us Spend saya jadi insaf haha. Pelan-pelan saya belajar menahan diri untuk mengurangi budaya konsumtif bagi anak-anak. Lagi-lagi saya bilang, ini tidak mudah. Terutama untuk Kakak yang sudah terlanjur terbiasa beli ini itu entah saat bersama saya maupun Kakek Nenek.

Lalu, bagaimana caranya membuat anak-anak belajar Minimalism ? Bertepatan dengan musim liburan tahun 2018 ini, Kakak ulang tahun ke-9 sehingga saya mengajak dia untuk camping. Ini pengalaman pertama Kakak camping dan tidur dengan sleeping bag dan matras. Di Melrimba Garden ini juga banyak aktivitas outdoor yang cocok untuk anak-anak. Namun, satu yang paling kami suka adalah tea walking ditemani kabut. Alhamdulillah Kakak senang dan sempat bilang “Makasih ya mah aku senang banget camping gini, aku mau lagi tidur di tenda. You’re the best mom ever” ✌😀 . Padahal awalnya saya kira Kakak gak bakal suka beginian, ternyata dia suka dan nagih.

Jadi begini lah homeschooling kami menghadapi musim liburan. Pertama, karena tidak lagi sekolah jadi tidak ada lagi liburan. Saya selalu tekankan ke Kakak bahwa belajar ya kapan aja gak ada liburnya. Terus artinya camping bawa-bawa worksheet ? Ya gak juga dong, belajar kan bukan semata ngerjain soal-soal di kertas. Berkumpul bersama keluarga, menikmati alam, sabar menghadapi kemacetan Puncak, tidur, mandi, makan dengan ketidaknyamanan juga bagian dari belajar. Kedua, minimalism is not self deprivation. Jadi dengan mengusung konsep minimalism bukan berarti menahan diri sampai tersiksa tapi melihat lebih dalam lagi makna dari materi yang kita habiskan. Pilih memanjakan diri dengan shopping, berbagi atau pengalaman yang tidak terlupakan seumur hidup ? . Inget lho Mariah Carey aja udah berkata 😁

I don’t want a lot for Christmas
There is just one thing I need
I don’t care about the presents
Underneath the Christmas tree
I don’t need to hang my stocking
There upon the fireplace
Santa Claus won’t make me happy
With a toy on Christmas day
I just want you for my own
More than you could ever know
Make my wish come true
All I want for Christmas is you

 

So, Presence is the best present. Happy Birthday Kakak ❤

Advertisement

Deschooling di Jepang (Bagian 2) : Teman Baru di Kishibe

Waktu saya bilang ketika traveling perjalanan kami harus beyond jalan-jalan, beberapa hari sebelum kami berangkat saya senang sekali ketika mendapat sebuah email. Emailnya datang dari Melinda Gould, owner dari Rainbow Learning Centre (RLC). Saya ketemu dengan RLC di website Worldschooler Exchange dan langsung menghubungi Melinda ketika tahu bahwa tempatnya bersedia menerima siswa internasional untuk belajar bahasa Inggris bareng sama anak-anak lokal. Tanpa pikir panjang, saya langsung terima ajakan Melinda dan memasukan “belajar di RLC” ke dalam itinerary kami.

Memasuki pekan kedua kami di Jepang, kami stay di Osaka selama satu pekan. Untuk mencapai lokasi RLC, kami harus menempuh perjalanan kereta dan jalan kaki sekitar 45 menit dari apartemen kami di Tennoji-ku. Pagi itu kami akhirnya tiba juga di Kishibe, kota kecil di pinggiran Osaka yang damai dan sepi haha. Walau sepi, saya justru suka karena jauh dari kesan mewah, over tourism dan jarang terlihat di feed para selebgram LOL.

20180922_1012344966855375670912617.jpg
Pagi hari sudah di depan stasiun Kishibe. Tentunya ibu butuh booster kopi Boss hehe 😀

Sampai di RLC, kami disambut hangat oleh beberapa guru dan Kakak pun langsung semangat karena sudah ada fotonya terpampang di depan pintu kelas. Lalu, Kakak  siap belajar bahasa Inggris bersama teman-teman barunya. Sayangnya, saya tidak boleh memantau seharian di lokasi, karena selain memang peraturannya seperti itu, rasanya pegel juga nunggu Kakak dari pukul 9 pagi sampai 4 sore hehe. Jadi, saya dan suami serta adek  pergi jalan-jalan mengelilingi Osaka dan kembali menjemput Kakak.

20180922_1001428225036712554421085.jpg
Warm welcome from RLC team
img-20180923-wa00096158411477860090523.jpg
Menunggu Kakak di depan RLC. Terlihat ibu sudah lanjut ke kopi kedua LOL

Sepulangnya dari RLC, Kakak cerita bahwa teman-temannya banyak bertanya ada apa saja di Indonesia, bagaimana bisa Gwen sudah bisa menunggang kuda dan masih banyak lagi. Dalam hati, saya bangga sama Kakak bukan karena dia mencetak prestasi dalam bahasa Inggris tapi karena dia sudah mau keluar dari zona nyaman dan lekas beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Sampai hari ini pun Kakak masih nagih untuk kembali belajar di RLC, untuk itu lah saya mengajak Kakak untuk bersahabat pena dengan teman-temannya di RLC agar hubungan mereka tetap terjaga sampai nanti pada akhirnya mereka boleh bebas berteman di media sosial hehe (masih lamaaaa itu hahaha).

img_24376025729337678498617.jpg

img_24381827029666532358252.jpg

20180922_2058381610942583831374169.jpg

Jadi, kalau ada yang bertanya anak homeschooling itu gimana gaulnya ? apa gak takut nanti jadi kuper ? . Jawaban saya, sosialisasi bisa diupayakan dalam bentuk apa pun. Dengan kecanggihan teknologi, derasnya arus informasi dan konsep the world without stranger rasanya sosialisasi anak-anak dapat dilakukan dalam bentuk yang variatif dan alami, seperti sosialisasi kita orang dewasa. Apakah saat ini kita punya teman sebanyak 30 orang dengan usia yang sama dan duduk dalam satu ruang selama 8 jam sehari ? mungkin iya tapi mostly not. Bermodal usaha dan kreatfitas, sebagai orang tua homeshooling kita bisa memaparkan anak-anak dengan sosialisasi yang lebih beragam. Sehingga anak sekolah dan homeschooler tidak ada bedanya, mereka sama-sama punya kesempatan bergaul dan bersosialisasi. (Bersambung)