Memilih untuk tidak menyekolahkan anak berujung pada banyaknya pertanyaan melayang ke kami. Mulai dari pertanyaan alasannya kenapa, sampai hal-hal teknis dan filosofis. Tentunya kami dengan senang hati menjawab, bahkan tak jarang akhirnya ada beberapa yang tadinya sekedar tanya jadi ikutan tidak menyekolahkan anaknya.
Sekarang, gantian deh saya yang tanya ke teman-teman beberapa pertanyaan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang saya renungkan terus sampai sekarang, juga pada saat saya memutuskan untuk homeschooling.
Pertanyaan pertama.
Belajar untuk apa ?
Saat kita tertarik terhadap sesuatu lalu berusaha untuk menyelami sesuatu itu dengan memelajarinya, pernahkah kita bertanya ini semua untuk apa ? Pastinya bukan untuk meraih nilai, mendapat pujian atau sekedar diterima di sekolah favorit. Ada hal lain yang lebih besar dari semua itu, kalau mau besar banget misalnya untuk menjalani perintah Tuhan. Ada lagi untuk menjadi pribadi insan kamil, magnanimous atau agar berguna bagi orang lain. Apakah untuk tujuan-tujuan itu atau tujuan lain yang ada di pikiran Anda, bisa dicapai hanya melalui jalur sekolah ?!. Apakah tidak ada cara lain ?, pilihan lain ?.
Pertanyaan Kedua
Apakah belajar hanya bisa dilakukan di sekolah ?
Saat dunia sudah semakin tanpa batas, ditambah geliat demokrasi media, apakah sekolah satu-satunya tempat untuk belajar ? . Dengan akses internet super canggih, anak-anak bisa belajar langsung dari ahlinya dengan berbagai platform MOOC atau Youtube, Outschool dan sebagainya yang bertebaran baik di dalam maupun luar negeri.
Oh tapi di tempat saya akses internet minim, gimana dong ?. Bukankah pergi berkebun, menyemai bibit sayur lalu hasilnya menjadi pangan keluarga atau tetangga sekitar itu juga belajar ?
Intinya banyak cara untuk belajar, banyak hal yang bisa kita pelajari. Semuanya ada di dekat kita dan menunggu untuk ditemukan oleh anak-anak. Jika melihat ke sekeliling, kira-kira ada apa saja yang menanti untuk Anda pelajari ?
Pertanyaan ketiga
Apa tujuan pendidikan ?
Sejenak mengambil jeda untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Untuk apa ya pendidikan itu ?. Lalu, apakah jalan yang saya tempuh atau alat yang digunakan sudah pas menuju tujuan tersebut ?
Kalau teman-teman menemukan jawaban-jawaban lain dari ketiga pertanyaan ini, silakan tulis di kolom komentar ya. Atau mungkin ada pertanyaan lain ? monggo. Sampai ketemu lagi di tulisan berikutnya.
Tidak terasa diskusi buku Volume 6 “A Philosophy of Education” sudah memasuki pekan ke-15, walaupun saya sudah melewati masa-masa diskusi bab awal Volume 6 pada awal 2019 lalu, namun aura kegalauannya masih juga terasa. Seakan diskusi ulangan ini menjadi semacam pengingat atas filosofi CM yang menjadi landasan bagi praktek kurikulum CM pada homeschooling kami.
Mind to Mind
karenglass.net
Kembali pertanyaan itu hadir, apa hakikat pengetahuan ? , saya yang sedang berjalan menyusuri rimba homeschooling langsung berhenti sesaat, menarik nafas dan mencoba mencari-cari jawabannya.
“Pengetahuan itu hakikatnya apa? Berabad-abad para cendekiawan berpikir tentang itu dan belum berhasil menjawabnya! Namun barangkali yang perlu kita ketahui adalah bahwa satu-satunya pengetahuan yang seseorang punya adalah yang ia serap ketika budinya secara aktif mencernanya. “
Vol 6 Halaman 12
Bagaimana budi mencerna aktif pengetahuan ? CM tidak bosan mengingatkan pendidik untuk berpegangan pada ide-ide hidup. Hanya dari ide hidup itulah pikiran bisa berkelana sibuk memuaskan dahaga rasa ingin tahu. Lalu dari mana ide hidup itu kita dapatkan ? jika memungkinkan ide hidup bisa didapat dengan berinteraksi langsung dengan mereka yang piawai dalam suatu bidang seperti Raja Nero belajar privat dengan Seneca. Namun, kesempatan seperti itu tentu langka dan tidak bisa menjadi milik siapa saja. Oleh karena itu CM menawarkan buku-buku hidup sebagai sarana pertemuan antara pemikiran dan pemikiran, mind to mind begitu istilah kerennya.
Prinsip inilah yang masih terus kami pegang sebagai landasan praktek kurikulum CM di sekolah rumah kami, prakteknya tentu tidak semudah dan seindah teori. Memberi asupan buku-buku hidup pada anak di tengah gempuran era digital ini sungguh tidak mudah Jenderal !!. Sebagai seorang pembaca buku, memberikan atmosfer saja tidak cukup, kurang rasanya hanya membiarkan anak melihat saya membolak-balik lembaran buku macam orang bener. Disiplin dan pembentukan kebiasaan merupakan tantangan tersendiri, saban hari membaca buku perlahan, mengunyahnya sedikit demi sedikit dibutuhkan kesabaran tinggi. Inilah mungkin ada benarnya jika CM berkata bahwa “Pendidikan adalah pelayan bagi agama”. Bukan tubuh tapi jiwalah yang dilayani oleh pendidikan, sehingga upaya untuk mencapai tujuan pendidikan adalah melalui kekuatan iman.
Tolak Ukur
onlinetrophies.co.uk
Lalu kalau iman, jiwa, spiritual, hantu dan semua yang tidak kasat mata menjadi landasan pendidikan, apa dong tolak ukurnya. Siapa yang bisa menilai tingkat keimanan seseorang secara objektif atau menilai budi anak bekerja setelah mendapat asupan ide. Pertanyaan ini tidak hanya pernah hadir dalam benak saya tapi juga sering muncul pada beragam diskusi dan workshop CM, netizen butuh bukti, butuh sesuatu entah untuk dipajang di lemari atau sosial media. Bisa jadi pertanyaan seperti ini ada akibat kusamnya pola pikir kita setelah sekian lama born and raised di bawah bayangan sistem pendidikan bawaan revolusi industri. Pendidikan itu ya sekolah, diukur melalui tes dan berhasil jika ijazah sudah di tangan. Saking mendarah dagingnya pola pikir ini sampai-sampai kita lalai dengan alternatif lain.
Kita mungkin lupa pada tokoh Dark Phoenix dalam film X-Men yang menjadi mutan terkuat dengan kekuatan telephatic membaca dan mengendalikan pikiran. Tokoh fiksi itu mengingatkan kita bahwa kekuatan terbesar manusia adalah pikiran, kita lupa untuk selalu kembali ke pikiran dan tak lelah menatanya hingga mampu adil sejak dalam pikiran seperti kata Pram. Dengan kekuatan super itu mungkin kita bisa terus menerus berefleksi, mengakui kegagalan dan mensyukuri kemenangan. Oleh sebab itu pada metode pendidikan CM tidak ada suatu praktek yang pasti, tidak ada juga tawaran menghamba pada suatu titik esktrem. Anak boleh jadi merdeka, born persons namun anak juga harus memiliki ketaatan pada prinsip.
Godaan Idealisme Tinggi
darksidetoy.com
Membaca lembar demi lembar segala materi CM, membuat jiwa lemahku bergejolak. Bagaimana tidak, CM mematok target tinggi pendidikan bagi anak melebihi passing grade SMA 1 Bogor ( Sekolah saya ini ). Tidak jarang jiwa lemah ini terintimidasi dengan idealisme tinggi nan lurus, manis, baca buku, anti-game, anti-sosmed. Sampai akhirnya jiwa ini lelah (sudah lemah, lelah pula) lalu memilih untuk kembali menata ulang pikiran sendiri. Tujuan boleh tinggi, prakteknya pelan dan resapi beragam pemandangan yang ada.
Dalam praktek metode CM, buku hidup adalah sesajen, namun jika ide hidup didapat dari buku-buku hidup, apakah lantas anak tidak boleh mengkonsumsi film ? video musik ? . Karen Andreola pernah menyatakan kebanggaan dalam bukunya A Charlotte Mason Companion bahwa anaknya tidak tahu Michelangelo adalah salah satu anggota Kura-Kura Ninja, di benak anak Mbak Karen Michelangelo adalah seniman era Renaissance. Bagi saya pribadi, memangnya apa yang salah dengan mengetahui budaya pop ?. Jika diminta memilih membaca Marcus Aurelius atau menyaksikan The Dark Knight, nature walk atau nonton Chelsea vs Manchester City rasanya saya tidak bisa. Dari semuanya itu ada relasi, kitanya saja yang mungkin kadang menemukan, kadang tidak. Bukankah dunia ini sendiri sudah fitrahnya beragam ? kembalikan saja semuanya pada prinsip paling dasar, bahwa pendidikan adalah tangan kanan agama. Dengan agama sebagai prinsip dasar, anggap saja Tuhan ada di mana-mana dan sedang berbicara pada kita melalui segala ciptaanNya.
Dalam metode pendidikan Charlotte Mason terdapat 20 butir prinsip pendidikan yang menjadi fondasi. Namun dari 20 butir tersebut sebenarnya hanya dua yang menjadi induk dari butir-butir lainnya. Menurut Karen Glass kedua prinsip induk itu adalah “Children are born persons” dan “Education is the science of relations”. Kali ini saya akan membahas yang kedua terlebih dulu karena terkait dengan pembahasan pada diskusi komunitas Charlotte Mason Jakarta yang sedang membahas tentang Tuhan. Wow berat ya ? ini komunitas parenting atau sekte yang mengkultuskan CM sih ? hahaha.
Salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan pada saya sebagai praktisi homeschooling adalah “Sosialisasinya gimana ?”. Sebenarnya saya bingung kenapa pertanyaan ini lebih sering diutarakan pada mereka yang memilih tidak menyekolahkan anak-anaknya. Padahal pertanyaan yang sama juga layak ditanyakan pada mereka yang bersekolah di sekolah formal. Saya sendiri lebih senang menjawab pertanyaan ini dari sisi kualitas bukan kuantitas. Artinya ketika bicara kuantitas atau seberapa banyak jumlah teman yang dimiliki seorang anak, oh my..please talk to my Facebook friends list hehe. Di era demokrasi media seperti sekarang ini saya rasa mencari teman bukanlah hal yang sulit, di samping rumah, di sosial media, anak-anak teman, di komunitas, di tempat kursus dlsb yang intinya sekolah bukan satu-satunya tempat untuk mencari teman. Oleh karena itu saya lebih tertarilk melihat sosialisasi lebih ke sisi kualitas. Satu hal yang sebenarnya perlu direnungkan bukan hanya oleh ortu homeschooler tapi juga ortu anak-anak sekolah formal.
Awal tahun 2020 saya buka dengan membaca dua buku tentang parenting di dunia digital, Born Digital dan Raising Humans In A Digital World. Ada tiga hal besar yang saya tangkap dari kedua buku tersebut. Pertama adalah soal pembentukan identitas anak muda di dunia online, kedua tentang pentingnya kematangan pendidikan moral sebelum terjun ke dunia online dan ketiga adalah sebuah pengingat untuk lebih banyak berkarya ketimbang menjadi penonton di dunia online.
Sampai juga di tantangan terakhir bagian 1 Melacak Warisan Jepang. Ada rasa bangga dari saya dan juga Kakak. Kakak bilang aku sekarang udah tahu deh mah kecamatan dan segala-galanya itu haha. Berikut di bawah ini adalah jurnal blog Kakak untuk kunjungan ke kantor Kecamatan.
Kalau ditanya kenapa homeschooling rasanya banyak sekali jawabannya sampai bingung mau mulai dari mana, walau intinya sih karena kami galau dengan sistem pendidikan di negara ini. Di blog ini pun saya tulis beberapa alasan mengapa saya pilih homeschooling, sengaja saya share supaya mungkin berguna bagi yang sedang berpikir mau mengambil jalur homeschooling bagi pendidikan anaknya.
Dulu waktu saya kecil ada satu buku yang saya selalu ingat sampai sekarang. Buku itu sangat membekas sekali di pikiran saya sampai saya selalu berkhayal ingin seperti si Gadis di buku itu. Buku Totto Chan : Gadis Cilik di Jendela adalah salah satu buku favorit saya yang karakter dan ceritanya merasuk sampai ke hati :D. Di buku itu sang penulis Tetsuko Kuroyanagi bercerita tentang masa-masa indahnya bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah bernama Sosaku Kobayashi.
Kenapa Tomoe Gakuen begitu istimewa ? Padahal sekolah ini bukan sekolah dengan biaya bombastis, bukan juga sekolah terkenal atau sekolah dengan sederet piala di ruang guru. Bagi saya, Tomoe Gakuen adalah sekolah yang bersahaja. Pak Kepala Sekolah sangat menghargai karakter dan keunikan masing-masing anak, bagi Kepala Sekolah tidak ada anak yang bodoh, baginya semua anak secara alamiah pintar dan punya rasa ingin tahu yang sangat besar sekali. Sedikit banyak memang gaya mendidik Sosaku Kobayashi mirip dengan Charlotte Mason. Seperti belajar dari alam, bergerak mengikuti musik, habit training dengan membaca berbagai karya sastra serta menganggap anak-anak sebagai pribadi utuh. Tidak pernah Kepala Sekolah menganggap anak-anak itu hanya pribadi kecil yang dikecilkan. Buku Totto Chan juga menggarap banyak sekali isu-isu dalam kehidupan. Beberapa diantaranya adalah soal keberagaman, dalam buku ini tersaji berbagai karakter teman-teman totto-chan, ada yang senang matematika, ada yang disabilitas. Ada juga isu lainnya seperti perundungan yang dapat kita lihat di bab “Masow-Chan”.
Gara-gara buku ini lah dulu saya berkhayal ingin sekali sekolah di sekolah seperti Tomoe Gakuen, apa daya sekolah saya dari TK sampai SMA sampai era anak saya sekolah tidak ada yang mirip sedikitpun hahaha. Saat ini memang sudah banyak sekolah progresif dengan metode belajar yang tidak terlalu kaku, namun biasanya hadir dengan biaya mahal atau dalam satu kota hanya ada beberapa biji sehingga untuk pergi ke sekolah harus lintas propinsi haha. Akhirnya, saya berpikir “Kenapa gak gw bikin sendiri aja itu modelan Tomoe Gakuen?” hehe dan akhirnya saya memutuskan untuk homeschooling. Sambil menunggu sistem pendidikan di negara ini setidaknya mendekati sistem pendidikan di Finlandia, kami rela berjuang dan menikmati proses mendidik anak kami secara mandiri. Sebelum sampai ke arah situ, rasanya homeschooling aja deh. :D.
Menelusuri minat dan bakat anak kadang menjadi tantangan tersendiri. Jika beruntung, sejak usia dini mungkin kita sudah bisa mengenali minat dan bakat anak, sehingga tugas kita tinggal menjaga konsistensi anak untuk menekuni minat dan bakatnya. Jika kurang beruntung, seperti saya misalnya harus giat mencari minat dan bakat anak. Tentunya banyak sekali tes-tes minat dan bakat dari mulai tes sidik jari, tes IQ sampai penerawangan dukun 😀 . Tidak ada salahnya memang, namun jika dari awal saya sudah percaya pada beragam tes eksternal itu saya hanya takut akan fokus pada hasil tes tersebut dan dengan mudah menghempaskan bidang lain yang menurut tes-tes itu bukan minat dan bakat anak saya. Sebelumnya apa sih minat dan bakat itu ? Menurut Mas Aar di Rumah Inspirasi, minat adalah keinginan yang kuat dari seseorang, bersifat alami tanpa paksaan berasal dari dalam diri seseorang dan dari luar, kira-kira bahasa kerennya passion. Sedangkan bakat adalah bawaan lahir yang ada bukan karena faktor eksternal dan akan bersinar jika dilatih dengan penuh ketekunan.
This slideshow requires JavaScript.
Sejak homeschooling, saya dan Kakak jadi semakin leluasa untuk mengeksplorasi minat dan bakat. Semula tidak terlalu banyak yang kami bisa eksplor saat Kakak masih di sekolah, walaupun ada yang kami eksplor, namun hanya sebatas ekstrakurikuler pada umumnya seperti basket, taekwondo dan piano. Semuanya menurut saya belum ada yang klik sama Kakak, ditambah lagi minatnya pun sebetulnya minat saya haha (my bad). Baru lah setelah homeschooling saya kasih kakak kebebasan untuk memilih dan dia memilih seni. Beruntung sekali saya ketemu tutor yang pas untuk Kakak. Dari pemaparan berbagai seni, barulah kelihatan Kakak ada minat dan bakat pada keramik. Gak nyangka ya .. keramik hehe. Saya gak pernah kepikiran sebelumnya mengenalkan keramik, zaman sekarang ini masa iya sih anak-anak suka keramik pikir saya.
This slideshow requires JavaScript.
Saya jadi ingat kalau Kakak itu senang sekali bikin DIY alias prakarya, dibalik pribadinya yang aktif Kakak menemukan ketenangan saat mengolah berbagai benda. Sehingga waktu dikenalkan pada keramik oleh Kak Zulfa, kakak langsung klik dan terus bikin dan bikin lagi tanpa kenal waktu. Salah satu ciri minat dan bakat adalah saat anak mengerjakannya mereka lupa waktu seakan nothing can stop them. Sekarang tinggal yang paling sulit, tes persistensi ! Beruntung mentor Kakak satu visi dengan saya, kami percaya bahwa ketekunan itu perlu dilatih, bagaimana caranya ? Dengan memastikan anak menyelesaikan apa yang sudah ia buat, tidak berhenti di tengah jalan.
Selain keramik dan prakarya sebetulnya ada beberapa bidang lain yang sedang saya paparkan pada Kakak. Diantaranya adalah coding, berkuda, sejarah dan konservasi alam. Saya menggunakan tabel dari Rumah Inspirasi untuk menganalisa perkembangan penelusuran minat dan bakat Kakak. Memang masih panjang perjalanannya namun perlahan sudah mulai terlihat titik terang arah minat dan bakat Kakak. Seperti yang saya selalu tulis pada blog ini, saya senang sekali sama baby steps, small progress dan dengan homeschooling kami leluasa menghargai itu semua. Karena bagi saya yang terpenting adalah Kakak bisa mengalahkan terlebih dulu inner demon nya (malas, inkonsistensi, mendadak jenuh dsb) dalam menelusuri minat dan bakatnya. Homeschooling kami adalah seni, seni menikmati proses.
Sejak memulai homeschooling, saya jadi mulai belajar tentang filosofi pendidikan dari Charlotte Mason (CM). Berawal dari buku Cinta Yang Berpikir karangan Ellen Kristi sampai buku Original Homeschooling Series by Charlotte Mason, a 6-in-1 omnibus collection yang sampai sekarang masih saya coba pahami perlahan-lahan. Karena selain bahasa Inggrisnya tingkat tinggi, jumlah halamannya pun gak kira-kira guys, 1670 halaman saja hahaha. Biasanya saya baca tergantung keingintahuan saya saja, tidak saya baca berurutan dari awal sampai akhir. Dengan mengambil model homeschooling eklektik, saya memilih beberapa metode belajar yang menurut saya paling pas diterapkan di keluarga kami, salah satunya adalah metode belajar dari buah pemikiran Charlotte Mason.
Untuk CM, saya terpesona sekali dengan filosofi beliau yang sangat memanusiakan anak, bagaimana CM mengajak pendidik untuk mencetak anak-anak yang berbudi luhur dengan cara-cara yang lembut tapi tegas. Salah satu cara yang menurut Mason penting dipaparkan pada anak adalah belajar bersama alam.
“The mother reads her book or knits her sock, checking all attempts to make talk; the child stares up into a tree, or down into a flower, doing nothing, thinking of nothing; or leads a bird’s life among the branches, or capers about in aimless ecstasy; quite foolish , irrational doings, but, all the time a fashioning is going on: Nature is doing her part, with the vow”
The Child and Mother Nature, Home Education Part II, Charlotte Mason
Segitu dahsyatnya menurut Mason alam ciptaan Tuhan ini sehingga layak menjadi tempat terbaik anak untuk belajar. Apa yang kadang menurut kita orang tua sepele dan cuma nambah-nambah kotor baju aja ternyata manfaatnya luar biasa. Banyak yang bisa dilakukan saat membawa anak mengeksplorasi alam seperti membuat nature journal atau memberikan worksheet dan itu sah-sah saja. Namun, buat saya ketika di alam itu adalah momen intim bagi Kakak, siapa sih yang mau diganggu saat sedang berhubungan intim ? haha LOL, tetap sih saya mendampingi tentunya. Saya biasanya berdiri di samping atau di belakang sambil sesekali berkata “Suara apa itu ?” “Pohon apa itu?” “Kok ada bungkus kacang ya di sungai?”. Ketika bersama alam, saya mengalah, saya biarkan alam yang ambil alih untuk mendidik anak saya. Biarkan alam dengan kelebihan dan kekurangannya menjadi guru untuk melatih theatre of mind Kakak. Terbukti sekali this stealth learning benar-benar membius, saat bersama alam tidak pernah ada kata “Udah yuk mah” terkadang saya mendapati kalimat-kalimat “Can I touch this ?” , “Aku mau duduk dulu sebentar, mau ngadem”, “Burung elang itu mah, elang jawa” . Hal-hal yang tanpa disadari memberikan food for her soul. Siapa yang menyangka juga sejak rutin nature walks, Kakak jadi punya keingintahuan baru soal konservasi. Betapa ia marah ketika tahu banyak sampah di sungai atau lihat berita harimau mati terjerat jebakan kawat. Ini mahal sekali buat saya, rasa keingintahuan yang muncul yang berujung pada pencarian Kakak pada ilmu-ilmu baru. Itulah kenapa saya percayakan alam untuk mendidik anak saya.
“Punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya telinga tapi tidak mendengar musik; punya pikiran tapi tidak memahami kebenaran; punya hati tapi hati itu tidak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar. Itulah hal-hal yang harus ditakuti kata Kepala Sekolah”
Waktu saya bilang ketika traveling perjalanan kami harus beyond jalan-jalan, beberapa hari sebelum kami berangkat saya senang sekali ketika mendapat sebuah email. Emailnya datang dari Melinda Gould, owner dari Rainbow Learning Centre (RLC). Saya ketemu dengan RLC di website Worldschooler Exchange dan langsung menghubungi Melinda ketika tahu bahwa tempatnya bersedia menerima siswa internasional untuk belajar bahasa Inggris bareng sama anak-anak lokal. Tanpa pikir panjang, saya langsung terima ajakan Melinda dan memasukan “belajar di RLC” ke dalam itinerary kami.
Memasuki pekan kedua kami di Jepang, kami stay di Osaka selama satu pekan. Untuk mencapai lokasi RLC, kami harus menempuh perjalanan kereta dan jalan kaki sekitar 45 menit dari apartemen kami di Tennoji-ku. Pagi itu kami akhirnya tiba juga di Kishibe, kota kecil di pinggiran Osaka yang damai dan sepi haha. Walau sepi, saya justru suka karena jauh dari kesan mewah, over tourism dan jarang terlihat di feed para selebgram LOL.
Pagi hari sudah di depan stasiun Kishibe. Tentunya ibu butuh booster kopi Boss hehe 😀
Sampai di RLC, kami disambut hangat oleh beberapa guru dan Kakak pun langsung semangat karena sudah ada fotonya terpampang di depan pintu kelas. Lalu, Kakak siap belajar bahasa Inggris bersama teman-teman barunya. Sayangnya, saya tidak boleh memantau seharian di lokasi, karena selain memang peraturannya seperti itu, rasanya pegel juga nunggu Kakak dari pukul 9 pagi sampai 4 sore hehe. Jadi, saya dan suami serta adek pergi jalan-jalan mengelilingi Osaka dan kembali menjemput Kakak.
Warm welcome from RLC team
Menunggu Kakak di depan RLC. Terlihat ibu sudah lanjut ke kopi kedua LOL
Sepulangnya dari RLC, Kakak cerita bahwa teman-temannya banyak bertanya ada apa saja di Indonesia, bagaimana bisa Gwen sudah bisa menunggang kuda dan masih banyak lagi. Dalam hati, saya bangga sama Kakak bukan karena dia mencetak prestasi dalam bahasa Inggris tapi karena dia sudah mau keluar dari zona nyaman dan lekas beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Sampai hari ini pun Kakak masih nagih untuk kembali belajar di RLC, untuk itu lah saya mengajak Kakak untuk bersahabat pena dengan teman-temannya di RLC agar hubungan mereka tetap terjaga sampai nanti pada akhirnya mereka boleh bebas berteman di media sosial hehe (masih lamaaaa itu hahaha).
Jadi, kalau ada yang bertanya anak homeschooling itu gimana gaulnya ? apa gak takut nanti jadi kuper ? . Jawaban saya, sosialisasi bisa diupayakan dalam bentuk apa pun. Dengan kecanggihan teknologi, derasnya arus informasi dan konsep the world without stranger rasanya sosialisasi anak-anak dapat dilakukan dalam bentuk yang variatif dan alami, seperti sosialisasi kita orang dewasa. Apakah saat ini kita punya teman sebanyak 30 orang dengan usia yang sama dan duduk dalam satu ruang selama 8 jam sehari ? mungkin iya tapi mostly not. Bermodal usaha dan kreatfitas, sebagai orang tua homeshooling kita bisa memaparkan anak-anak dengan sosialisasi yang lebih beragam. Sehingga anak sekolah dan homeschooler tidak ada bedanya, mereka sama-sama punya kesempatan bergaul dan bersosialisasi. (Bersambung)