Melacak Warisan Jepang Di Sekitar Rumah (Bagian 2)

Masih dalam suasana memenuhi tantangan Melacak Warisan Jepang dari Jaladwara Wisata Arkeologi, Rumah Inspirasi dan Garasi, Kakak lanjut mengunjungi Ketua RW. Apa saja yang ditemui dan dirasakan Kakak ? yuk kita simak laporan Kakak berikut ini.

Continue reading “Melacak Warisan Jepang Di Sekitar Rumah (Bagian 2)”

Advertisement

Pendidikan Adalah Keyakinan

Mencari pendidikan alternatif sudah saya lakukan sejak terpapar oleh Totto-Chan. Saking putus asa, saya sempat berpikir apa perlu nih saya masukin anak saya ke Summerhill (A.S Neill) atau sekolah swasta dengan tuition fee setara MM-UI. Namun setelah riset berkepanjangan, juga menimbang masalah biaya, saya pun nyerah. Mungkin memang pendidikan yang saya idam-idamkan itu hanyalah utopia belaka. Sehingga, pergulatan batin pun berakhir dengan kepasrahan dan memasukan Kakak ke sekolahnya hanya dengan pertimbangan jaraknya dekat dari rumah hahaha. Saya pikir pusing-pusing amat lah mikir cari sekolah ideal, lah emang menurut saya semua sama aja, gitu-gitu aja. “Gitu-gitu aja” yang saya maksud adalah dari zaman saya sekolah sampai sekarang ya tidak terlalu banyak perubahan berarti dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.

Sampai pada suatu ketika turning point itu hadir, saat beragam masalah saya hadapi terkait perilaku, minat belajar dan minat baca Kakak. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk mengeluarkan Kakak dari sekolah dan menjadi praktisi homeschooling. Beruntung sekali saat akhirnya berani mengambil jalur pendidikan yang non-mainstream ini membawa saya pada sosok Charlotte Mason (CM).

Gara-gara CM saya jadi terbawa untuk berpikir ulang tentang pendidikan, apa sih pendidikan itu ? Nah lho..!!. Jerman pada masa Perang Dunia menjadikan pendidikan bersifat utilitarian, bahasa kerennya azas manfaat hehe, ya kalo lo gak bisa dipake untuk jadi buruh pabrik, bikin senjata atau jadi tentara, yaudah BYE !! . Ini berhubungan nih sama ucapan yang sering kita dengar “Sekolah yang pintar ya supaya bisa cari duit”, Marxis banget dah..haha, apa iya itu tujuan pendidikan ? mengejar materi ?. Menurut CM “Pendidikan haruslah menyentuh jiwa agar para siswa meminatinya” Bah!! apa pula itu korelasi antara jiwa dan pendidikan?. Jawaban dari pertanyaan ini dikembalikan lagi ke kredo utama pendidikan CM yaitu “Anak adalah pribadi utuh”.  CM menilai anak-anak sering dikecilkan dengan memberikan mereka bubur padahal mereka sebenarnya mampu mencerna nasi. Bahwa buku-buku yang tersaji di sekolah sudah dicerna sebelumnya oleh orang dewasa, sehingga anak-anak hanya mendapat sisa lepehan saja pada buku teks. Absennya ide-ide pada buku teks dan materi belajar anak, telah membuat jiwa anak-anak lapar, budi mereka kesepian. Pastinya bukan ini yang CM mau, untuk apa bergelimang materi dan terkenal kalau budi seseorang menjadi kering, kosong atau bahkan mati.

Lalu, bagaimana membuat budi menjadi hidup dan tumbuh sehat ? untuk hal ini CM menawarkan tidak lain dan tidak bukan….eng ing eng ternyata gak jauh-jauh dari kehidupan saya, BUKU. Buku hidup atau Living Books dengan bahasa sastra yang ditulis tanpa merendahkan anak menurut CM dapat menjadi makanan bagi budi anak. Sama seperti tubuh yang membutuhkan makanan sehat, begitu pula dengan budi asupannya harus sehat. Saat anak melakukan perjamuan ide dengan buku-buku berkualitas, saat itulah budi anak tergugah, pikirannya menari-nari. Apakah dengan begini anak-anak dijamin dapat mengerti dan langsung meresapi karya Orwell ? Harper Lee ? . Tenang sis, CM senang sekali dengan yang namanya proses panjang, baby steps yang perlahan tapi tekun.

Dalam mengasah kemampuan literasi, CM mengajak anak-anak untuk menarasikan bacaannya dengan bahasa mereka sendiri. Orangtua atau guru sebagai fasilitator diharapkan tidak melakukan intervensi terlalu banyak dengan mengajukan pertanyaan komprehensif pada anak. Biarkan saja anak-anak mengolah sendiri bacaan mereka, tugas kita adalah menyajikan sebanyak-banyaknya buku berkualitas. Serta sebuah keyakinan besar bahwa kita percaya mereka bisa mencerna ide-ide besar itu secara mandiri, sama seperti kita percaya tubuh anak dapat mencerna sendiri apa yang mereka makan. Secara bertahap kenalkan bacaan berkualitas pada anak, ikuti kemampuannya, jika terlalu sulit turunkan, jika anak sudah mahir naikkan. Percaya bahwa anak adalah pribadi utuh, percaya bahwa mereka bukan makhluk bodoh dan saat kita merasa ragu ingatlah apa kata CM bahwa education is faith, pendidikan adalah keyakinan.

**Tulisan ini adalah bagian dari narasi perjamuan ide bersama para ibu CMers Jakarta. Difasilitasi oleh Mba Ayu Primadini, selama satu bulan ini kami membahas Bab 1 Self Education  dari Vol.6 Towards a Philosophy of Education

Keluar Dari Sekolah (Bagian 4) : Gara-Gara Totto-Chan

Kalau ditanya kenapa homeschooling rasanya banyak sekali jawabannya sampai bingung mau mulai dari mana, walau intinya sih karena kami galau dengan sistem pendidikan di negara ini. Di blog ini pun saya tulis beberapa alasan mengapa saya pilih homeschooling, sengaja saya share supaya mungkin berguna bagi yang sedang berpikir mau mengambil jalur homeschooling bagi pendidikan anaknya.

Dulu waktu saya kecil ada satu buku yang saya selalu ingat sampai sekarang. Buku itu sangat membekas sekali di pikiran saya sampai saya selalu berkhayal ingin seperti si Gadis di buku itu. Buku Totto Chan : Gadis Cilik di Jendela adalah salah satu buku favorit saya yang karakter dan ceritanya merasuk sampai ke hati :D. Di buku itu sang penulis Tetsuko Kuroyanagi bercerita tentang masa-masa indahnya bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah bernama Sosaku Kobayashi.

Kenapa Tomoe Gakuen begitu istimewa ? Padahal sekolah ini bukan sekolah dengan biaya bombastis, bukan juga sekolah terkenal atau sekolah dengan sederet piala di ruang guru. Bagi saya, Tomoe Gakuen adalah sekolah yang bersahaja. Pak Kepala Sekolah sangat menghargai karakter dan keunikan masing-masing anak, bagi Kepala Sekolah tidak ada anak yang bodoh, baginya semua anak secara alamiah pintar dan punya rasa ingin tahu yang sangat besar sekali. Sedikit banyak memang gaya mendidik Sosaku Kobayashi mirip dengan Charlotte Mason. Seperti belajar dari alam, bergerak mengikuti musik, habit training dengan membaca berbagai karya sastra serta menganggap anak-anak sebagai pribadi utuh. Tidak pernah Kepala Sekolah menganggap anak-anak itu hanya pribadi kecil yang dikecilkan. Buku Totto Chan juga menggarap banyak sekali isu-isu dalam kehidupan. Beberapa diantaranya adalah soal keberagaman, dalam buku ini tersaji berbagai karakter teman-teman totto-chan, ada yang senang matematika, ada yang disabilitas. Ada juga isu lainnya seperti perundungan yang dapat kita lihat di bab “Masow-Chan”.

Gara-gara buku ini lah dulu saya berkhayal ingin sekali sekolah di sekolah seperti Tomoe Gakuen, apa daya sekolah saya dari TK sampai SMA sampai era anak saya sekolah tidak ada yang mirip sedikitpun hahaha. Saat ini memang sudah banyak sekolah progresif dengan metode belajar yang tidak terlalu kaku, namun biasanya hadir dengan biaya mahal atau dalam satu kota hanya ada beberapa biji sehingga untuk pergi ke sekolah harus lintas propinsi haha. Akhirnya, saya berpikir “Kenapa gak gw bikin sendiri aja itu modelan Tomoe Gakuen?” hehe dan akhirnya saya memutuskan untuk homeschooling. Sambil menunggu sistem pendidikan di negara ini setidaknya mendekati sistem pendidikan di Finlandia, kami rela berjuang dan menikmati proses mendidik anak kami secara mandiri. Sebelum sampai ke arah situ, rasanya homeschooling aja deh. :D. 

Pendidikan Adalah Atmosfer

Minimalist Homeschooler Menghadapi Musim Liburan

Memasuki akhir tahun seperti biasa hiruk pikuk libur mulai terasa terutama di berbagai mall di kota besar. Tentu saja setiap musim liburan menjadi tantangan tersendiri buat saya sebagai orangtua. Tantangannya adalah bagaimana menahan diri untuk memanjakan anak-anak dengan mudah, gimana gak mudah saat setiap mall penuh dengan beragam event dan diskon yang semuanya mengambil manfaat liburan ini untuk menguras dompet orang tua haha. Menjadi sulit bagi saya karena saya sebetulnya mampu-mampu saja menyisihkan sebagian uang untuk belanja berbagai macam mainan dengan misi yang penting anak senang.

Sejak ngikutin The Minimalists dan setelah nonton The Men Who Made Us Spend saya jadi insaf haha. Pelan-pelan saya belajar menahan diri untuk mengurangi budaya konsumtif bagi anak-anak. Lagi-lagi saya bilang, ini tidak mudah. Terutama untuk Kakak yang sudah terlanjur terbiasa beli ini itu entah saat bersama saya maupun Kakek Nenek.

Lalu, bagaimana caranya membuat anak-anak belajar Minimalism ? Bertepatan dengan musim liburan tahun 2018 ini, Kakak ulang tahun ke-9 sehingga saya mengajak dia untuk camping. Ini pengalaman pertama Kakak camping dan tidur dengan sleeping bag dan matras. Di Melrimba Garden ini juga banyak aktivitas outdoor yang cocok untuk anak-anak. Namun, satu yang paling kami suka adalah tea walking ditemani kabut. Alhamdulillah Kakak senang dan sempat bilang “Makasih ya mah aku senang banget camping gini, aku mau lagi tidur di tenda. You’re the best mom ever” ✌😀 . Padahal awalnya saya kira Kakak gak bakal suka beginian, ternyata dia suka dan nagih.

Jadi begini lah homeschooling kami menghadapi musim liburan. Pertama, karena tidak lagi sekolah jadi tidak ada lagi liburan. Saya selalu tekankan ke Kakak bahwa belajar ya kapan aja gak ada liburnya. Terus artinya camping bawa-bawa worksheet ? Ya gak juga dong, belajar kan bukan semata ngerjain soal-soal di kertas. Berkumpul bersama keluarga, menikmati alam, sabar menghadapi kemacetan Puncak, tidur, mandi, makan dengan ketidaknyamanan juga bagian dari belajar. Kedua, minimalism is not self deprivation. Jadi dengan mengusung konsep minimalism bukan berarti menahan diri sampai tersiksa tapi melihat lebih dalam lagi makna dari materi yang kita habiskan. Pilih memanjakan diri dengan shopping, berbagi atau pengalaman yang tidak terlupakan seumur hidup ? . Inget lho Mariah Carey aja udah berkata 😁

I don’t want a lot for Christmas
There is just one thing I need
I don’t care about the presents
Underneath the Christmas tree
I don’t need to hang my stocking
There upon the fireplace
Santa Claus won’t make me happy
With a toy on Christmas day
I just want you for my own
More than you could ever know
Make my wish come true
All I want for Christmas is you

 

So, Presence is the best present. Happy Birthday Kakak ❤

Seni Menikmati Proses

Menelusuri minat dan bakat anak kadang menjadi tantangan tersendiri. Jika beruntung, sejak usia dini mungkin kita sudah bisa mengenali minat dan bakat anak, sehingga tugas kita tinggal menjaga konsistensi anak untuk menekuni minat dan bakatnya. Jika kurang beruntung, seperti saya misalnya harus giat mencari minat dan bakat anak. Tentunya banyak sekali tes-tes minat dan bakat dari mulai tes sidik jari, tes IQ sampai penerawangan dukun 😀 . Tidak ada salahnya memang, namun jika dari awal saya sudah percaya pada beragam tes eksternal itu saya hanya takut akan fokus pada hasil tes tersebut dan dengan mudah menghempaskan bidang lain yang menurut tes-tes itu bukan minat dan bakat anak saya. Sebelumnya apa sih minat dan bakat itu ? Menurut Mas Aar di Rumah Inspirasi, minat adalah keinginan yang kuat dari seseorang, bersifat alami tanpa paksaan berasal dari dalam diri seseorang dan dari luar, kira-kira bahasa kerennya passion. Sedangkan bakat adalah bawaan lahir yang ada bukan karena faktor eksternal dan akan bersinar jika dilatih dengan penuh ketekunan.

img-20181122-wa00195326738253785860020.jpg

 

This slideshow requires JavaScript.

 

Sejak homeschooling, saya dan Kakak jadi semakin leluasa untuk mengeksplorasi minat dan bakat. Semula tidak terlalu banyak yang kami bisa eksplor saat Kakak masih di sekolah, walaupun ada yang kami eksplor, namun hanya sebatas ekstrakurikuler pada umumnya seperti basket, taekwondo dan piano. Semuanya menurut saya belum ada yang klik sama Kakak, ditambah lagi minatnya pun sebetulnya minat saya haha (my bad). Baru lah setelah homeschooling saya kasih kakak kebebasan untuk memilih dan dia memilih seni. Beruntung sekali saya ketemu tutor yang pas untuk Kakak. Dari pemaparan berbagai seni, barulah kelihatan Kakak ada minat dan bakat pada keramik. Gak nyangka ya .. keramik hehe. Saya gak pernah kepikiran sebelumnya mengenalkan keramik, zaman sekarang ini masa iya sih anak-anak suka keramik pikir saya.

 

This slideshow requires JavaScript.

Saya jadi ingat kalau Kakak itu senang sekali bikin DIY alias prakarya, dibalik pribadinya yang aktif Kakak menemukan ketenangan saat mengolah berbagai benda. Sehingga waktu dikenalkan pada keramik oleh Kak Zulfa, kakak langsung klik dan terus bikin dan bikin lagi tanpa kenal waktu. Salah satu ciri minat dan bakat adalah saat anak mengerjakannya mereka lupa waktu seakan nothing can stop them. Sekarang tinggal yang paling sulit, tes persistensi ! Beruntung mentor Kakak satu visi dengan saya, kami percaya bahwa ketekunan itu perlu dilatih, bagaimana caranya ? Dengan memastikan anak menyelesaikan apa yang sudah ia buat, tidak berhenti di tengah jalan.

Selain keramik dan prakarya sebetulnya ada beberapa bidang lain yang sedang saya paparkan pada Kakak. Diantaranya adalah coding, berkuda, sejarah dan konservasi alam. Saya menggunakan tabel dari Rumah Inspirasi untuk menganalisa perkembangan penelusuran minat dan bakat Kakak. Memang masih panjang perjalanannya namun perlahan sudah mulai terlihat titik terang arah minat dan bakat Kakak. Seperti yang saya selalu tulis pada blog ini, saya senang sekali sama baby steps, small progress dan dengan homeschooling kami leluasa menghargai itu semua. Karena bagi saya yang terpenting adalah Kakak bisa mengalahkan terlebih dulu inner demon nya (malas, inkonsistensi, mendadak jenuh dsb) dalam menelusuri minat dan bakatnya. Homeschooling kami adalah seni, seni menikmati proses.

20181217_1704325837215467884763801.jpg

 

Deschooling di Jepang (Bagian 3) : Nostalgia Bapak di Yaita

Harta yang paling berharga adalah keluarga…..

Benar adanya theme song Keluarga Cemara ini, sebagai seorang ibu dan anak, saya selalu bersyukur punya keluarga besar yang selalu mendukung dalam suka dan duka. Untuk itulah saya selalu semangat mengenalkan Kakak kepada keluarga besar saya dan suami. Pada trip deschooling kami ke Jepang, saya senang sekali mendapat kesempatan untuk bertemu keluarga angkat suami. Jadi ceritanya, suami saya ini dulu waktu SMA sempat melakukan pertukaran pelajar ke Jepang dan tinggal bersama keluarga angkat yang sampai saat ini masih berhubungan. Pertukaran pelajar itu terjadi 20 tahun yang lalu dan pada 2018 ini suami berkesempatan untuk mengunjungi kembali keluarga angkatnya.

Kami berangkat pagi hari saat matahari kota Osaka masih malu-malu, langit mendung pun semakin lama meneteskan hujan kecil. Namun, hal itu tidak menurunkan semangat kami mengejar jadwal kereta menuju kota kecil bernama Yaita di Prefektur Tochigi. Perjalanan kami cukup panjang waktu itu, semakin terasa panjang karena ada Adek yang harus makan, tidur tepat waktu sesuai rutinitasnya. Berawal dari Osaka Station naik Shinkansen menuju Tokyo lalu Utsunomiya dan terakhir kereta Commuter Line ke Yaita (saya sebut begitu karena gerbongnya persis gerbong Commuter Line Jabodetabek hehe).

Sampai di stasiun kota Yaita rasa lelah kami menempuh perjalanan panjang terbayar dengan sambutan hangat Ayah dan Ibu angkatnya suami. Mereka menjemput kami di stasiun dan menyediakan kami makan malam rumahan yang rasanya melebihi rasa fine dining Japanese Food manapun di Indonesia hahaha. Rumah keluarga ini juga sangat luas dan indah, disinilah kami mendapat kasur ternikmat setelah dua pekan kami memaksimalkan kamar minimalis Airbnb.

20180923_1840505027290783121026084.jpg
Kelezatannya membuat saya berhenti makan hanya karena malu. LOL!! Gak kenyang-kenyang guys..Alhamdulilah
fb_img_15377552152455274344648345632915.jpg
Pelajaran sekolah kami hari ini : Hirup udara segar
fb_img_1537755222431-14571827571275025341.jpg
Adek seperti biasa dengan gaya andalannya : Telanjang Kaki 😀

Keesokan harinya kami diantar jalan-jalan menikmati keindahan kota Yaita dan Nikko, mengunjungi kuil, museum dan memetik apel. Banyak sekali yang dapat Kakak pelajari pada kunjungan ke Yaita ini, seperti mengenal perbedaan dan sosialisasi lintas umur. Jujur saja pada saat kunjungan ini, saya tidak terlalu banyak bicara karena kendala bahasa itu nyata adanya sodara-sodara. Saya tidak bisa bahasa Jepang sementara keluarga angkat kami ini sama sekali tidak bisa bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia haha. Ujung-ujungnya saya menggunakan Google Translate dan minta suami aja lah jadi penerjemah bahasa Jepang.

img-20180926-wa00077089567449900142831.jpg
The Kobori yang baik hati. Super Love !!

 

Dengan adanya kendala bahasa ini saya salut sama Kakak karena dia tanpa canggung bicara sekenanya, dia pakai bahasa Indonesia dan dijawab bahasa Jepang begitu seterusnya. Selama di Yaita, Kakak juga ditemani oleh sepupu angkatnya, Ko dan lagi-lagi mereka bermain dengan bahasa masing-masing, tapi entah bagaimana kok akrab-akrab aja ya hehe. Namun yang paling membekas buat Kakak adalah ketika dia melihat sejarah Bapaknya. Di rumah Obachan, Kakak melihat kamar Bapak zaman highschool, melihat rute sekolah Bapak dan mendengarkan cerita tentang masa muda Bapak dari Nenek Obachan.

20180924_1140498010307357726138427.jpg
Muka bahagia setelah makan siang
img-20180924-wa00233114535905460994959.jpg
When the world is your classroom, you can learn from apple
20180924_1658243926379291030858727.jpg
Bahasa tidak menjadi penghalang bagi kami untuk bersenang-senang

Petualangan kami di Yaita menjadi penutup deschooling trip kami di Jepang. Tidak disangka semula saya kira ini akan membuat Kakak bosan karena tinggal di rumah orang tua dan di desa pula. Ternyata di travel journal miliknya, Kakak menulis kunjungan ke Yaita adalah yang paling berkesan. Katanya “Kalau waktu di sekolah, teman-teman ku yang pulang dari Jepang selalu cerita Disneyland sama Shinkansen, tapi ga ada yang cerita ke rumah nenek angkat orang Jepang beneran” . LOL !!

(Bersambung)

Kenapa Saya Memercayakan Alam Untuk Mendidik Anak Saya ?

Sejak memulai homeschooling, saya jadi mulai belajar tentang filosofi pendidikan dari Charlotte Mason (CM). Berawal dari buku Cinta Yang Berpikir karangan Ellen Kristi sampai buku Original Homeschooling Series by Charlotte Mason, a 6-in-1 omnibus collection yang sampai sekarang masih saya coba pahami perlahan-lahan. Karena selain bahasa Inggrisnya tingkat tinggi, jumlah halamannya pun gak kira-kira guys, 1670 halaman saja hahaha. Biasanya saya baca tergantung keingintahuan saya saja, tidak saya baca berurutan dari awal sampai akhir. Dengan mengambil model homeschooling eklektik, saya memilih beberapa metode belajar yang menurut saya paling pas diterapkan di keluarga kami, salah satunya adalah metode belajar dari buah pemikiran Charlotte Mason.

Untuk CM, saya terpesona sekali dengan filosofi beliau yang sangat memanusiakan anak, bagaimana CM mengajak pendidik untuk mencetak anak-anak yang berbudi luhur dengan cara-cara yang lembut tapi tegas. Salah satu cara yang menurut Mason penting dipaparkan pada anak adalah belajar bersama alam.

“The mother reads her book or knits her sock, checking all attempts to make talk; the child stares up into a tree, or down into a flower, doing nothing, thinking of nothing; or leads a bird’s life among the branches, or capers about in aimless ecstasy; quite foolish , irrational doings, but, all the time a fashioning is going on: Nature is doing her part, with the vow”

The Child and Mother Nature, Home Education Part II, Charlotte Mason

 

Segitu dahsyatnya menurut Mason alam ciptaan Tuhan ini sehingga layak menjadi tempat terbaik anak untuk belajar. Apa yang kadang menurut kita orang tua sepele dan cuma nambah-nambah kotor baju aja ternyata manfaatnya luar biasa. Banyak yang bisa dilakukan saat membawa anak mengeksplorasi alam seperti membuat nature journal atau memberikan worksheet dan itu sah-sah saja. Namun, buat saya ketika di alam itu adalah momen intim bagi Kakak, siapa sih yang mau diganggu saat sedang berhubungan intim ? haha LOL, tetap sih saya mendampingi tentunya. Saya biasanya berdiri di samping atau di belakang sambil sesekali berkata “Suara apa itu ?” “Pohon apa itu?” “Kok ada bungkus kacang ya di sungai?”. Ketika bersama alam, saya mengalah, saya biarkan alam yang ambil alih untuk mendidik anak saya. Biarkan alam dengan kelebihan dan kekurangannya menjadi guru untuk melatih theatre of mind Kakak. Terbukti sekali this stealth learning benar-benar membius, saat bersama alam tidak pernah ada kata “Udah yuk mah” terkadang saya mendapati kalimat-kalimat “Can I touch this ?” , “Aku mau duduk dulu sebentar, mau ngadem”, “Burung elang itu mah, elang jawa” . Hal-hal yang tanpa disadari memberikan food for her soul. Siapa yang menyangka juga sejak rutin nature walks, Kakak jadi punya keingintahuan baru soal konservasi. Betapa ia marah ketika tahu banyak sampah di sungai atau lihat berita harimau mati terjerat jebakan kawat. Ini mahal sekali buat saya, rasa keingintahuan yang muncul yang berujung pada pencarian Kakak pada ilmu-ilmu baru. Itulah kenapa saya percayakan alam untuk mendidik anak saya.

“Punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya telinga tapi tidak mendengar musik; punya pikiran tapi tidak memahami kebenaran; punya hati tapi hati itu tidak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar. Itulah hal-hal yang harus ditakuti kata Kepala Sekolah”

Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela. Halaman 106

 

img-20180921-wa00222722289130871744503.jpg

HOTS dan Nonton Film

Sejak jadi praktisi homeschooling, saya mendadak jadi pengikut PT. OGAH RUGI nih haha. Ogah rugi dalam arti setiap kegiatan yang dilakukan kakak harus bermakna, gak boleh lewat begitu saja. Ketika traveling misalnya, saya berusaha agar Kakak menggunakan mata, hati dan pikirannya lebih dalam. Ceritanya mencoba menjadi Observant Child kalo kata Nenek Charlotte Mason. Seperti yang pernah saya tulis di sini, saat traveling Kakak harus menyelesaikan jurnal dan membuat presentasi tentang perjalanannya. Sehingga traveling gak cuma jalan-jalan, beli segala mainan abis itu udah deh pulang, sungguh rugi buat saya.

Ketika kakak minta untuk nonton Ralph Breaks The Internet saya pun lagi-lagi menganut paham OGAH RUGI. Jangan sampe nih nonton abis itu udah aja pikir saya dalam hati. Kebetulan sekali saya sedang mengulik Higher Order Thinking Skills (HOTS) jadi rasanya ingin saya terapkan untuk tantangan Kakak setelah nonton Ralph.

Menurut Bloom’s Taxonomy tingkatan berpikir terdiri dari Lower Order Thinking Skills (LOTS) hingga HOTS dengan urutan dari rendah ke tinggi sebagai berikut Remembering, Understanding, Applying, Analyzing, Evaluating, Creating. Dengan HOTS, siswa diajak untuk melatih cara berpikir kritis dengan daya analisis tajam. Berat ya ? haha iya berat, melatihnya pun menurut saya gak mudah. Namun, saya merasa hal ini sangat perlu sekali terutama pada era dimana pengetahuan sudah menjadi hal yang umum sejak memasuki era internet. Pekerjaan pendidik pun menjadi semakin menantang, contohnya dulu sebelum era internet, membuat pertanyaan pada lembar kerja seperti “Jelaskan tentang negara Seychelles” rasanya sudah cukup. Sekarang pendidik ditantang untuk membuat pertanyaan yang Google proof alias pertanyaan yang jawabannya tidak bisa langsung didapat dengan bertanya pada Mbah Google hehe.

4
Pertanyaan untuk memecahkan masalah. Solusinya harus berbeda dengan fim

8
Bisa berujung pada diskusi soal digital literacy

 

7
Melatih berkreasi, menghubungkan dengan data yang ada pada film sebelumnya.

Umumnya HOTS digunakan untuk kegiatan membaca, namun rasanya tidak ada salahnya juga digunakan untuk kegiatan menonton film. Kebetulan sekali bulan ini film yang kami tunggu-tunggu akhirnya tayang di bioskop. Setelah menonton Ralph Breaks The Internet saya membuat tantangan untuk Kakak yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada konsep HOTS. Dengan melakukan ini, kegiatan menonton yang sering dianggap main-main bisa menjadi lebih bermakna. Kakak sendiri tidak merasa terbebani dengan tantangan ini karena dimulai dengan topik yang ia sukai. Walau terkesan mudah tapi lumayan bisa membuat dia berpikir. Saya juga senang karena banyak menemukan kejutan dari jawaban-jawaban Kakak.

Deschooling di Jepang (Bagian 1)

20181127_215807752799421869488996.jpg

September 2018 menjadi bulan bersejarah bagi keluarga kami, bukan karena itu ulang tahun ibu icha avrianty hehe tapi karena bulan September kami memutuskan mulai menjadi praktisi homeschooling. Artinya per September 2018 kami bebas menentukan kapan harus traveling karena tidak terikat cuti kantor serta liburan sekolah, artinya juga kami bisa traveling pada saat low season hehehe. Jadi lah September 2018 kami pergi ke Jepang.

Sejak keluar dari sekolah, anak-anak homeschooling biasanya harus melewati fase deschooling, semacam masa transisi dari sekolah ke homeschooling. Berapa lama kah proses deschooling ini ? Idealnya 1 tahun sekolah sama dengan 1 bulan deschooling. Karena Kakak sudah melewati 2 tahun usia sekolah artinya idealnya proses deschooling berlangsung selama 2 bulan. Namun, karena prinsip HS keluarga kami adalah fleksibilitas, jadi proses deschooling ini pun kami jalani mengikuti perkembangan Kakak. Lalu, dimulai lah proses deschooling di Jepang. Sebagai praktisi homeschooling tentu saja kami tidak mau traveling hanya menjadi sekedar jalan-jalan apalagi buang-buang duit untuk shopping haha. Pokoknya, harus ada ilmu yang dibawa pulang, memori yang akan dikenang anak seumur hidup dan membangkitkan rasa penasaran anak sebagai bahan bakar dia untuk belajar.

gwen's travel journal
Homemade Travel Journal

20181127_2152227977062563534197649.jpg
Menulis Jurnal Day 3 di apartemen Airbnb kami di Tokyo

IMG-20180915-WA0012.jpg
Sebagai worldschooler kadang kelas Kakak bisa jalan 100km/jam 😀

Sebelum berangkat, saya membekali Kakak dengan travel journal lengkap dengan kamera instax. Tugasnya sederhana, setiap hari Kakak harus menulis perjalanannya selama di Jepang, menulis apa saja yang menarik atau tidak enak buat dia. Walau sederhana tapi untuk Kakak lumayan menantang. Ini karena selama di sekolah, Kakak tidak pernah menemukan tujuan dia menulis, untuk apa ya aku menulis ?, kenapa aku harus menulis sesuatu yang aku gak suka ?, bagaimana aku memformulasikan ide ?. Belum selesai pertanyaan itu, Kakak sudah dicap punya tulisan jelek LOL. Ternyata, ketika Kakak menemukan tujuannya dan dilakukan dengan sukacita, tanpa ada pemaksaan dan perang urat syaraf dia mau menulis. Perjalanan menuju sempurna memang masih panjang, but i love baby steps, i love small progress, jadi walau masih sederhana banget hasilnya, namun ada kemajuan dari jurnal hari pertama sampai hari terakhir. This is where the beauty of homeschool works, bagaimana HS bisa berjalan mengikuti kecepatan belajar masing-masing anak, karena dalam dunia pendidikan harusnya kita semua percaya kalau tidak ada anak yang bodoh. Semua anak unik dengan kekuatan dan kekurangan mereka masing-masing. (Bersambung)

%d bloggers like this: