Praktisi homeschooling pasti sudah tidak asing lagi dengan kalimat dari Nenek Charlotte Mason ini. Seperti ditulis Ellen Kristi di bukunya Cinta Yang Berpikir, “Pendidikan adalah atmosfer” bukan berarti mengekang anak-anak dalam satu ruangan artifisial, namun memanfaatkan apa yang ada di dunia nyata dan menyajikan berbagai kesempatan dalam lingkungan alamiah anak-anak. Melalui apa yang sudah disediakan Sang Pencipta di dunia ini lah anak-anak dapat belajar dengan bebas dari orang-orang sekitarnya, dari alam dan segala yang ada di dunia ini.
Berangkat dari filosofi tersebut, maka kami sekeluarga sepakat membuat agenda terjun ke alam bebas menjadi rutin. Jika tidak memungkinkan satu pekan sekali yaa setidaknya satu bulan sekali. Setelah sempat camping, terjun ke sawah, hiking sekarang lanjut lagi hiking dengan medan yang lebih menantang. Kebetulan memang Kakak ada bakat kinestetik sehingga di alam ini lah rasanya she found her element. Dulu saya pikir “Wajar lah Kakak gak mau diem, semua anak-anak pasti begitu”, ternyata anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Saya lihat pada saat hiking hanya ada tiga anak yang selalu jadi garda depan alias energinya gak habis-habis dan salah satu dari tiga anak itu tentu saja si Kakak hehe.
Untuk hiking kali ini kami barengan sama komunitas Jejak Kecil pergi ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tidak hanya berjalan mendaki menyusuri hutan, kami juga singgah di curug Cibadak dan melihat Suaka Elang Loji. Saat tiba di Curug setelah mendaki sejauh 2 KM kami berenang dan sempat minum langsung dari air terjun yang juga merupakan sumber mata air. Kakak juga sempat membuat karya seni rock balancing bersama teman-temannya, seni yang membutuhkan konsentrasi dan kalem tingkat tinggi, not bad for a start lah ya hasilnya..hehe.Selain menghasilkan pertemanan baru dan cerita seru, hiking kali ini juga menyisakan pelajaran baru bagi Kakak. Bagi Kakak yang grabak grubuk, hiking sukses membuat dia belajar menahan diri dan stay humble. Siapa sih manusia yang mau sombong ketika berhadapan dengan alam? . Sepulang dari hiking seperti biasa kami santai-santai menikmati perjalanan pulang dengan diskusi ringan.
“Kenapa tadi Kakak jatuh ?” “Iya aku buru-buru. Mestinya aku pelan-pelan aja”
“Now you know…” dalam hati hehe, tapi biarlah dia yang menyimpulkan sendiri. Begitulah kira-kira cerita belajar dari alam kami kali ini. When the world is your classroom, learning is as natural as breathing.
Menelusuri minat dan bakat anak kadang menjadi tantangan tersendiri. Jika beruntung, sejak usia dini mungkin kita sudah bisa mengenali minat dan bakat anak, sehingga tugas kita tinggal menjaga konsistensi anak untuk menekuni minat dan bakatnya. Jika kurang beruntung, seperti saya misalnya harus giat mencari minat dan bakat anak. Tentunya banyak sekali tes-tes minat dan bakat dari mulai tes sidik jari, tes IQ sampai penerawangan dukun 😀 . Tidak ada salahnya memang, namun jika dari awal saya sudah percaya pada beragam tes eksternal itu saya hanya takut akan fokus pada hasil tes tersebut dan dengan mudah menghempaskan bidang lain yang menurut tes-tes itu bukan minat dan bakat anak saya. Sebelumnya apa sih minat dan bakat itu ? Menurut Mas Aar di Rumah Inspirasi, minat adalah keinginan yang kuat dari seseorang, bersifat alami tanpa paksaan berasal dari dalam diri seseorang dan dari luar, kira-kira bahasa kerennya passion. Sedangkan bakat adalah bawaan lahir yang ada bukan karena faktor eksternal dan akan bersinar jika dilatih dengan penuh ketekunan.
This slideshow requires JavaScript.
Sejak homeschooling, saya dan Kakak jadi semakin leluasa untuk mengeksplorasi minat dan bakat. Semula tidak terlalu banyak yang kami bisa eksplor saat Kakak masih di sekolah, walaupun ada yang kami eksplor, namun hanya sebatas ekstrakurikuler pada umumnya seperti basket, taekwondo dan piano. Semuanya menurut saya belum ada yang klik sama Kakak, ditambah lagi minatnya pun sebetulnya minat saya haha (my bad). Baru lah setelah homeschooling saya kasih kakak kebebasan untuk memilih dan dia memilih seni. Beruntung sekali saya ketemu tutor yang pas untuk Kakak. Dari pemaparan berbagai seni, barulah kelihatan Kakak ada minat dan bakat pada keramik. Gak nyangka ya .. keramik hehe. Saya gak pernah kepikiran sebelumnya mengenalkan keramik, zaman sekarang ini masa iya sih anak-anak suka keramik pikir saya.
This slideshow requires JavaScript.
Saya jadi ingat kalau Kakak itu senang sekali bikin DIY alias prakarya, dibalik pribadinya yang aktif Kakak menemukan ketenangan saat mengolah berbagai benda. Sehingga waktu dikenalkan pada keramik oleh Kak Zulfa, kakak langsung klik dan terus bikin dan bikin lagi tanpa kenal waktu. Salah satu ciri minat dan bakat adalah saat anak mengerjakannya mereka lupa waktu seakan nothing can stop them. Sekarang tinggal yang paling sulit, tes persistensi ! Beruntung mentor Kakak satu visi dengan saya, kami percaya bahwa ketekunan itu perlu dilatih, bagaimana caranya ? Dengan memastikan anak menyelesaikan apa yang sudah ia buat, tidak berhenti di tengah jalan.
Selain keramik dan prakarya sebetulnya ada beberapa bidang lain yang sedang saya paparkan pada Kakak. Diantaranya adalah coding, berkuda, sejarah dan konservasi alam. Saya menggunakan tabel dari Rumah Inspirasi untuk menganalisa perkembangan penelusuran minat dan bakat Kakak. Memang masih panjang perjalanannya namun perlahan sudah mulai terlihat titik terang arah minat dan bakat Kakak. Seperti yang saya selalu tulis pada blog ini, saya senang sekali sama baby steps, small progress dan dengan homeschooling kami leluasa menghargai itu semua. Karena bagi saya yang terpenting adalah Kakak bisa mengalahkan terlebih dulu inner demon nya (malas, inkonsistensi, mendadak jenuh dsb) dalam menelusuri minat dan bakatnya. Homeschooling kami adalah seni, seni menikmati proses.
Benar adanya theme song Keluarga Cemara ini, sebagai seorang ibu dan anak, saya selalu bersyukur punya keluarga besar yang selalu mendukung dalam suka dan duka. Untuk itulah saya selalu semangat mengenalkan Kakak kepada keluarga besar saya dan suami. Pada trip deschooling kami ke Jepang, saya senang sekali mendapat kesempatan untuk bertemu keluarga angkat suami. Jadi ceritanya, suami saya ini dulu waktu SMA sempat melakukan pertukaran pelajar ke Jepang dan tinggal bersama keluarga angkat yang sampai saat ini masih berhubungan. Pertukaran pelajar itu terjadi 20 tahun yang lalu dan pada 2018 ini suami berkesempatan untuk mengunjungi kembali keluarga angkatnya.
Kami berangkat pagi hari saat matahari kota Osaka masih malu-malu, langit mendung pun semakin lama meneteskan hujan kecil. Namun, hal itu tidak menurunkan semangat kami mengejar jadwal kereta menuju kota kecil bernama Yaita di Prefektur Tochigi. Perjalanan kami cukup panjang waktu itu, semakin terasa panjang karena ada Adek yang harus makan, tidur tepat waktu sesuai rutinitasnya. Berawal dari Osaka Station naik Shinkansen menuju Tokyo lalu Utsunomiya dan terakhir kereta Commuter Line ke Yaita (saya sebut begitu karena gerbongnya persis gerbong Commuter Line Jabodetabek hehe).
Sampai di stasiun kota Yaita rasa lelah kami menempuh perjalanan panjang terbayar dengan sambutan hangat Ayah dan Ibu angkatnya suami. Mereka menjemput kami di stasiun dan menyediakan kami makan malam rumahan yang rasanya melebihi rasa fine dining Japanese Food manapun di Indonesia hahaha. Rumah keluarga ini juga sangat luas dan indah, disinilah kami mendapat kasur ternikmat setelah dua pekan kami memaksimalkan kamar minimalis Airbnb.
Kelezatannya membuat saya berhenti makan hanya karena malu. LOL!! Gak kenyang-kenyang guys..AlhamdulilahPelajaran sekolah kami hari ini : Hirup udara segarAdek seperti biasa dengan gaya andalannya : Telanjang Kaki 😀
Keesokan harinya kami diantar jalan-jalan menikmati keindahan kota Yaita dan Nikko, mengunjungi kuil, museum dan memetik apel. Banyak sekali yang dapat Kakak pelajari pada kunjungan ke Yaita ini, seperti mengenal perbedaan dan sosialisasi lintas umur. Jujur saja pada saat kunjungan ini, saya tidak terlalu banyak bicara karena kendala bahasa itu nyata adanya sodara-sodara. Saya tidak bisa bahasa Jepang sementara keluarga angkat kami ini sama sekali tidak bisa bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia haha. Ujung-ujungnya saya menggunakan Google Translate dan minta suami aja lah jadi penerjemah bahasa Jepang.
The Kobori yang baik hati. Super Love !!
Dengan adanya kendala bahasa ini saya salut sama Kakak karena dia tanpa canggung bicara sekenanya, dia pakai bahasa Indonesia dan dijawab bahasa Jepang begitu seterusnya. Selama di Yaita, Kakak juga ditemani oleh sepupu angkatnya, Ko dan lagi-lagi mereka bermain dengan bahasa masing-masing, tapi entah bagaimana kok akrab-akrab aja ya hehe. Namun yang paling membekas buat Kakak adalah ketika dia melihat sejarah Bapaknya. Di rumah Obachan, Kakak melihat kamar Bapak zaman highschool, melihat rute sekolah Bapak dan mendengarkan cerita tentang masa muda Bapak dari Nenek Obachan.
Muka bahagia setelah makan siangWhen the world is your classroom, you can learn from appleBahasa tidak menjadi penghalang bagi kami untuk bersenang-senang
Petualangan kami di Yaita menjadi penutup deschooling trip kami di Jepang. Tidak disangka semula saya kira ini akan membuat Kakak bosan karena tinggal di rumah orang tua dan di desa pula. Ternyata di travel journal miliknya, Kakak menulis kunjungan ke Yaita adalah yang paling berkesan. Katanya “Kalau waktu di sekolah, teman-teman ku yang pulang dari Jepang selalu cerita Disneyland sama Shinkansen, tapi ga ada yang cerita ke rumah nenek angkat orang Jepang beneran” . LOL !!