Tanyakan Ini Sebelum Memulai Homeschooling

Memilih untuk tidak menyekolahkan anak berujung pada banyaknya pertanyaan melayang ke kami. Mulai dari pertanyaan alasannya kenapa, sampai hal-hal teknis dan filosofis. Tentunya kami dengan senang hati menjawab, bahkan tak jarang akhirnya ada beberapa yang tadinya sekedar tanya jadi ikutan tidak menyekolahkan anaknya. 

Sekarang, gantian deh saya yang tanya ke teman-teman beberapa pertanyaan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang saya renungkan terus sampai sekarang, juga pada saat saya memutuskan untuk homeschooling. 

Pertanyaan pertama.

Belajar untuk apa ?

Saat kita tertarik terhadap sesuatu lalu berusaha untuk menyelami sesuatu itu dengan memelajarinya, pernahkah kita bertanya ini semua untuk apa ? Pastinya bukan untuk meraih nilai, mendapat pujian atau sekedar diterima di sekolah favorit. Ada hal lain yang lebih besar dari semua itu, kalau mau besar banget misalnya untuk menjalani perintah Tuhan. Ada lagi untuk menjadi pribadi insan kamil, magnanimous atau agar berguna bagi orang lain. Apakah untuk tujuan-tujuan itu atau tujuan lain yang ada di pikiran Anda, bisa dicapai hanya melalui jalur sekolah ?!. Apakah tidak ada cara lain ?, pilihan lain ?.

Pertanyaan Kedua

Apakah belajar hanya bisa dilakukan di sekolah ? 

Saat dunia sudah semakin tanpa batas, ditambah geliat demokrasi media, apakah sekolah satu-satunya tempat untuk belajar ? .  Dengan akses internet super canggih, anak-anak bisa belajar langsung dari ahlinya dengan berbagai platform MOOC atau Youtube, Outschool dan sebagainya yang bertebaran baik di dalam maupun luar negeri. 

Oh tapi di tempat saya akses internet minim, gimana dong ?. Bukankah pergi berkebun, menyemai bibit sayur lalu hasilnya menjadi pangan keluarga atau tetangga sekitar itu juga belajar ?

Intinya banyak cara untuk belajar, banyak hal yang bisa kita pelajari. Semuanya ada di dekat kita dan menunggu untuk ditemukan oleh anak-anak. Jika melihat ke sekeliling, kira-kira ada apa saja yang menanti untuk Anda pelajari ?

Pertanyaan ketiga

Apa tujuan pendidikan ?

Sejenak mengambil jeda untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Untuk apa ya pendidikan itu ?. Lalu, apakah jalan yang saya tempuh atau alat yang digunakan sudah pas menuju tujuan tersebut ? 

Kalau teman-teman menemukan jawaban-jawaban lain dari ketiga pertanyaan ini, silakan tulis di kolom komentar ya. Atau mungkin ada pertanyaan lain ? monggo. Sampai ketemu lagi di tulisan berikutnya. 

Advertisement

Berpacu Dengan Algoritma

Siapa sih kita ini ? Sebanyak-banyaknya pengetahuan kita tentang berbagai hal, satu hal yang paling kita tidak kenal adalah diri kita sendiri. Begitu sekilas pikiran yang lewat saat saya berada dalam mesin MRI untuk pemeriksaan abdomen lengkap. Segininya amat pikir saya untuk sekedar mengetahui penyebab rasa sakit luar biasa setiap tamu datang bulan tiba. Setelah dilakukan berbagai pemeriksaan barulah penyebab sakit luar biasa itu dapat diketahui, artinya kita butuh bantuan pihak lain untuk tahu ada apa pada tubuh kita. Ini baru soal mengetahui tubuh, belum lagi mengetahui apa yang ada dalam jiwa kita, sisi spiritual tak kasat mata. Tentu lebih sulit diterawang melalui mesin seperti MRI. 

“Ourselves” dan Keterampilan Abad 21

“Know thyself” begitu kata Socrates, kalimat sederhana namun bermakna dalam. Manusia didapati berusaha keras mengetahui dunia di luar dirinya tapi kadang lupa untuk menggali dirinya sendiri, entah sekedar berkaca atau merenung. Di era revolusi digital kondisi ini semakin rumit, bagaimana mau merenung kalau kita semua dituntut berlari serba cepat. Charlotte Mason (CM) pada bukunya Ourselves seperti mengajak kita untuk berhenti sejenak dan mengenali diri kita lebih intim. Berhenti sejenak, sebuah kemampuan penting abad 21 yang mungkin dianggap sebelah mata. Kita sibuk bersiap diri menambah kemampuan  agar kelak nanti bisa bersaing di bursa kerja Metaverse, sibuk menjejali anak dengan sederet kegiatan akademis yang konon katanya dapat mempersiapkan anak menjawab tantangan abad 21. Tapi mungkin kita lengah mengajak anak menengok dirinya sendiri.

Self-reverence, self-knowledge, self-control, these three are the only way your life can have sovereign power.’ Tennyson

CM membuka buku Ourselves dengan penggambaran jiwa manusia sebagai suatu kerajaan, lengkap dengan Perdana Menteri, sistem pemerintahan, kekayaan alamnya hingga bencana dan bahaya yang mengancam. Dalam sistem pemerintahan kerajaan jiwa manusia, Perdana Menteri sebagai pengambil keputusan adalah kehendak (Will), di bawahnya ada berbagai pejabat lain seperti Managers of The Revenue (Desires), Managers of The Treasury (Affections), Lord Attorney General (Reason), Lord Chief Justice (Conscience) dan yang paling rendah jabatannya adalah Assistants of The Body (Appetites). 

Tentang Nafsu

Berada di paling bawah dalam sistem pemerintahan, asisten tubuh berupa nafsu mungkin bagian yang paling mudah untuk dikenali oleh manusia. Bagian yang menjadi kebutuhan dasar manusia seperti rasa lapar, haus, lelah. CM juga menjelaskan bagaimana setiap rasa itu bisa bermanfaat bagi tubuh namun juga dapat membawa dampak buruk bagi manusia. Rasa lelah bisa menjadi baik saat tubuh kita membutuhkan istirahat, namun istirahat terlalu banyak juga dapat menyesatkan jiwa manusia. Begitu juga dengan rasa lapar yang bermanfaat bagi tubuh manusia untuk mengisinya dengan makanan, namun bisa berdampak buruk jika nafsu makan bisa berujung pada kerakusan. Sekarang pernahkah kita berhenti untuk sekedar bertanya saat kehendak kita memutuskan membeli makanan ? Benarkah makanan ini saya beli karena saya lapar ? karena saya tergoda diskon ? karena untuk memecah kebosanan ?. Mungkin pernah, mungkin juga lupa. Tanpa mengetahui bahwa dalam setiap gerakan keputusan kita selalu ada bahaya dan manfaat mungkin seringkali kita melakukan berbagai hal secara otomatis. Tidak heran kita mudah sekali tergoda iklan yang memang ditujukan untuk menggoda nafsu dan ketakutan kita. Tidak heran kalau saya lemah melihat diskon kuliner, padahal belum tentu makanan atau minuman itu memang dibutuhkan oleh tubuh saya, seperti es kopi susu gula aren misalnya. Entah berapa gelas sudah saya habiskan di tahun 2021 ini sebelum akhirnya saya memutuskan berhenti minum kopi. Anak-anak juga seperti itu, ditambah terpaan godaan cemilan kemasan di minimarket terdekat. Butuh aksi sengaja untuk membantu kami pelan-pelan berhenti dan bertanya kembali pada keputusan paling sederhana sekalipun seperti membeli makanan, dari makanan kita bisa belajar mengenali tubuh kita. 

Bersama Anak Mengenali Diri

Beruntung sekali saya mendapat anugerah bisa menjalani homeschooling bersama anak-anak, suatu perjalanan yang sebenarnya menjadi jalan ninjaku atau perjalanan spiritual bagi saya. Setiap hal yang kami pelajari rasanya lebih dari sekedar pencapaian akademis khas sekolah. Saya membaca buku Ourselves bersama teman-teman Charlotte Mason Jakarta  dan mendapati diri saya banyak tertampar, namun rasanya nikmat karena saya seperti mempunyai bekal untuk mengajak anak-anak pelan-pelan mengenali diri mereka. 

Momen-momen pembelajaran kami bukan momen duduk menghadap papan tulis, mendengarkan ceramah. Momen pembelajaran kami adalah pertengkaran, diskusi, tangis, tawa, kegembiraan, cemburu, resah, lelah. Semuanya kami jadikan momen mengenali diri kami masing-masing. Seringkali pertanyaan muncul dari orang sekitar menanyakan hasil seperti “Sudah bisa apa saja setelah homeschooling ?”. Jawaban saya, “Hmm saya juga bingung ya?” Bagaimana saya bisa gegabah ingin melihat hasil instan ? ini adalah perjalanan seumur hidup, hasilnya entah bisa terlihat 10-20-30 tahun lagi atau nanti saat kematian memisahkan. Yang jelas kami menikmati proses, namun saya cukup tahu bahwa manusia seringkali luput melihat proses, manusia lebih mudah melihat hasil. Semoga Tuhan bisa melihat proses kami dan entah apa yang akan diberikan Tuhan sebagai hasilnya. 

2022 Kami Datang

Ourselves is a Vast Country Still Unexplored” Charlotte Mason Vol.4, halaman 34

Tentunya masih luas sekali kerajaan jiwa manusia saya pribadi yang belum dieksplorasi, apakah memang itu pekerjaan jiwa manusia ? terus mencari. Mana tahu di kedalaman dan keluasan jiwa manusia di situlah letak Tuhan. Membuka tahun baru, semoga kita tidak lupa akan pekerjaan rumah kita untuk mengenali diri dan menjadikan PR ini sebagai salah satu materi pendidikan kita. Bukan berarti menitikberatkan pada kemampuan terkait profesi abad 21 tidak penting, tapi apalah artinya sederet profesi itu kalau kita jauh dengan diri kita sendiri, atau lebih buruknya lagi kita tidak bisa mengontrol diri kita sendiri. Semoga kita bisa lebih mengenal diri kita dan tak kalah berpacu dengan algoritma Zuckerberg. Amin. 

Ditulis sebagai rangkuman narasi sinau buku Ourselves bersama teman-teman Charlotte Mason Jakarta @cmidjakarta

Tentang Kekuatan Kehendak

Sejatinya tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter. Mungkin kita sudah sangat familiar mendengar kalimat “Pendidikan Karakter” seringkali dipakai sebagai tipu daya pemasaran institusi pendidikan. Secara kasat mata orangtua mungkin bisa melihat hasil instan bagaimana anak-anaknya berperilaku baik, tunduk pada berbagai aturan di sekolah. Namun, perilaku baik tidak ada artinya jika tidak berasal dari karakter batin seseorang.

Charlotte Mason (CM) dalam A Philosophy of Education menjelaskan tentang bagaimana karakter seseorang dapat terbentuk dengan baik jika ia dapat mengendalikan kekuatan kehendaknya. Anak dengan kehendak kuat bukanlah anak yang selalu gigih memperjuangkan apa yang diinginkannya, walaupun ia tahu yang diingikannya tidak baik baginya. Merengek meminta permen dan baru berhenti merengek ketika ia sudah mendapatkan permen, bukanlah kekuatan kehendak yang dimaksud CM. Anak dengan kekuatan kehendak adalah anak yang mampu membedakan mana yang ia inginkan dan mana yang ia kehendaki. Mungkin dia menginginkan permen, namun karena ia tahu permen tidak baik baginya maka kehendaknya akan mengatakan tidak. 

Maka tugas pendidik sangatlah berat mengantarkan anak pada pelajaran mengenali perbedaan kehendak dan keinginan. Nasihat dan pesan moral yang diberikan secara gamblang tidak akan berdampak jangka panjang, anak mungkin paham, mungkin sesaat terkesan patuh namun belum tentu ia paham perbedaan apa yang ia inginkan dan kehendaki. Anak harus tahu bahwa orang-orang yang tidak stabil, liar adalah mereka yang tidak dikendalikan oleh kekuatan kehendaknya tetapi mereka dikendalikan oleh hasrat dan dorongan impulsif. 

Lebih jauh lagi kita bisa melihat sebagai akar dari pendidikan karakter, kehendak bisa memanjang hingga ke pendidikan seks atau literasi finansial yang saat ini sedang menjadi tren. Tentu kita sering mendengar teori tentang kapan dan bagaimana mengenalkan dua topik tadi ke anak, bagaimana kita menyusun siasat menyampaikannya ke anak dan sebagainya, ini tidak salah dan patut diapresiasi. Namun, kita lupa bahwa akar dari dua topik tadi adalah kekuatan kehendak. Kapan anak bisa tahu bahwa ini sekedar nafsu belanja dan seks belaka atau apakah ia mempunyai kehendak lain.

Bagaimana kekuatan kehendak ini ditumbuhkan ? selain menyajikan anak-anak pada kisah kehidupan beragam yang tidak menggurui, CM juga mengajak pendidik membersamai anak mengenal dirinya. Anak perlu tahu bahwa setiap manusia sudah dikaruniai Tuhan beragam alat tak kasat mata untuk bertahan hidup, tinggal bagaimana manusia menggunakan alat-alat tersebut. Hasrat, cinta, kehendak, intelektual, spiritual adalah beberapa contoh alat tak kasat mata pemberiaan Sang Pencipta. Anak harus paham bahwa tugasnya di dunia ini adalah mengendalikan kekuatan besar yang ada di dalam dirinya. 

*Catatan narasi Diskusi Kamisan Komunitas Charlotte Mason Jakarta. Buku A Philosophy of Education oleh Charlotte Mason*

Kelas Malaika Bermain Untuk Hewan

Pada awal bulan Juli, Malaika Bermain mengadakan Kelas Malaika Bermain untuk Hewan. Ide mengadakan kelas ini sepenuhnya berasal dari Kakak yang ingin berbagi bersama teman-temannya tentang dunia yang ia minati yaitu dunia hewan. Bersama seorang teman, Kakak membuat kelas di Zoom tentang edukasi dan perawatan kucing. Hasil pendapatan dari kelas ini 100% didonasikan untuk animal shelter.

Animal Shelter yang akhirnya dipilih adalah Pejaten Shelter milik dr. Susanna Somali SpPk. Sudah sejak lama Kakak mengikuti akun Instagram Pejaten Shelter dan ingin pergi ke sana dan melakukan sesuatu untuk hewan-hewan di sana. Alhamdulillah dari Kelas Malaika Bermain terkumpul 880.000 rupiah yang digunakan untuk membeli 40 KG makanan anjing dan kucing. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah mengikuti kelasnya dan berdonasi.

Tunggu Kelas Malaika Bermain Untuk Hewan selanjutnya yaa, pastinya akan membahas tentang hewan. Bagi yang belum sempat ikutan, bisa cek cuplikan video-nya di kanal Youtube Malaika Bermain berikut ini

Melacak Warisan Jepang Di Sekitar Rumah (Bagian 3)

Lanjutan dari tantangan Melacak Warisan Jepang dari Jaladwara Wisata Arkeologi, Rumah Inspirasi dan Garasi adalah berkujung ke Kelurahan. Sebelum ke Kelurahan, Kakak penasaran sama KTP anak, lalu apa saja yang ia dapat dari kunjungan kali ini. Berikut laporannya.

Continue reading “Melacak Warisan Jepang Di Sekitar Rumah (Bagian 3)”

Melacak Warisan Jepang Di Sekitar Rumah (Bagian 2)

Masih dalam suasana memenuhi tantangan Melacak Warisan Jepang dari Jaladwara Wisata Arkeologi, Rumah Inspirasi dan Garasi, Kakak lanjut mengunjungi Ketua RW. Apa saja yang ditemui dan dirasakan Kakak ? yuk kita simak laporan Kakak berikut ini.

Continue reading “Melacak Warisan Jepang Di Sekitar Rumah (Bagian 2)”

Keluar Dari Sekolah (Bagian 4) : Gara-Gara Totto-Chan

Kalau ditanya kenapa homeschooling rasanya banyak sekali jawabannya sampai bingung mau mulai dari mana, walau intinya sih karena kami galau dengan sistem pendidikan di negara ini. Di blog ini pun saya tulis beberapa alasan mengapa saya pilih homeschooling, sengaja saya share supaya mungkin berguna bagi yang sedang berpikir mau mengambil jalur homeschooling bagi pendidikan anaknya.

Dulu waktu saya kecil ada satu buku yang saya selalu ingat sampai sekarang. Buku itu sangat membekas sekali di pikiran saya sampai saya selalu berkhayal ingin seperti si Gadis di buku itu. Buku Totto Chan : Gadis Cilik di Jendela adalah salah satu buku favorit saya yang karakter dan ceritanya merasuk sampai ke hati :D. Di buku itu sang penulis Tetsuko Kuroyanagi bercerita tentang masa-masa indahnya bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah bernama Sosaku Kobayashi.

Kenapa Tomoe Gakuen begitu istimewa ? Padahal sekolah ini bukan sekolah dengan biaya bombastis, bukan juga sekolah terkenal atau sekolah dengan sederet piala di ruang guru. Bagi saya, Tomoe Gakuen adalah sekolah yang bersahaja. Pak Kepala Sekolah sangat menghargai karakter dan keunikan masing-masing anak, bagi Kepala Sekolah tidak ada anak yang bodoh, baginya semua anak secara alamiah pintar dan punya rasa ingin tahu yang sangat besar sekali. Sedikit banyak memang gaya mendidik Sosaku Kobayashi mirip dengan Charlotte Mason. Seperti belajar dari alam, bergerak mengikuti musik, habit training dengan membaca berbagai karya sastra serta menganggap anak-anak sebagai pribadi utuh. Tidak pernah Kepala Sekolah menganggap anak-anak itu hanya pribadi kecil yang dikecilkan. Buku Totto Chan juga menggarap banyak sekali isu-isu dalam kehidupan. Beberapa diantaranya adalah soal keberagaman, dalam buku ini tersaji berbagai karakter teman-teman totto-chan, ada yang senang matematika, ada yang disabilitas. Ada juga isu lainnya seperti perundungan yang dapat kita lihat di bab “Masow-Chan”.

Gara-gara buku ini lah dulu saya berkhayal ingin sekali sekolah di sekolah seperti Tomoe Gakuen, apa daya sekolah saya dari TK sampai SMA sampai era anak saya sekolah tidak ada yang mirip sedikitpun hahaha. Saat ini memang sudah banyak sekolah progresif dengan metode belajar yang tidak terlalu kaku, namun biasanya hadir dengan biaya mahal atau dalam satu kota hanya ada beberapa biji sehingga untuk pergi ke sekolah harus lintas propinsi haha. Akhirnya, saya berpikir “Kenapa gak gw bikin sendiri aja itu modelan Tomoe Gakuen?” hehe dan akhirnya saya memutuskan untuk homeschooling. Sambil menunggu sistem pendidikan di negara ini setidaknya mendekati sistem pendidikan di Finlandia, kami rela berjuang dan menikmati proses mendidik anak kami secara mandiri. Sebelum sampai ke arah situ, rasanya homeschooling aja deh. :D. 

Kenapa Saya Memercayakan Alam Untuk Mendidik Anak Saya ?

Sejak memulai homeschooling, saya jadi mulai belajar tentang filosofi pendidikan dari Charlotte Mason (CM). Berawal dari buku Cinta Yang Berpikir karangan Ellen Kristi sampai buku Original Homeschooling Series by Charlotte Mason, a 6-in-1 omnibus collection yang sampai sekarang masih saya coba pahami perlahan-lahan. Karena selain bahasa Inggrisnya tingkat tinggi, jumlah halamannya pun gak kira-kira guys, 1670 halaman saja hahaha. Biasanya saya baca tergantung keingintahuan saya saja, tidak saya baca berurutan dari awal sampai akhir. Dengan mengambil model homeschooling eklektik, saya memilih beberapa metode belajar yang menurut saya paling pas diterapkan di keluarga kami, salah satunya adalah metode belajar dari buah pemikiran Charlotte Mason.

Untuk CM, saya terpesona sekali dengan filosofi beliau yang sangat memanusiakan anak, bagaimana CM mengajak pendidik untuk mencetak anak-anak yang berbudi luhur dengan cara-cara yang lembut tapi tegas. Salah satu cara yang menurut Mason penting dipaparkan pada anak adalah belajar bersama alam.

“The mother reads her book or knits her sock, checking all attempts to make talk; the child stares up into a tree, or down into a flower, doing nothing, thinking of nothing; or leads a bird’s life among the branches, or capers about in aimless ecstasy; quite foolish , irrational doings, but, all the time a fashioning is going on: Nature is doing her part, with the vow”

The Child and Mother Nature, Home Education Part II, Charlotte Mason

 

Segitu dahsyatnya menurut Mason alam ciptaan Tuhan ini sehingga layak menjadi tempat terbaik anak untuk belajar. Apa yang kadang menurut kita orang tua sepele dan cuma nambah-nambah kotor baju aja ternyata manfaatnya luar biasa. Banyak yang bisa dilakukan saat membawa anak mengeksplorasi alam seperti membuat nature journal atau memberikan worksheet dan itu sah-sah saja. Namun, buat saya ketika di alam itu adalah momen intim bagi Kakak, siapa sih yang mau diganggu saat sedang berhubungan intim ? haha LOL, tetap sih saya mendampingi tentunya. Saya biasanya berdiri di samping atau di belakang sambil sesekali berkata “Suara apa itu ?” “Pohon apa itu?” “Kok ada bungkus kacang ya di sungai?”. Ketika bersama alam, saya mengalah, saya biarkan alam yang ambil alih untuk mendidik anak saya. Biarkan alam dengan kelebihan dan kekurangannya menjadi guru untuk melatih theatre of mind Kakak. Terbukti sekali this stealth learning benar-benar membius, saat bersama alam tidak pernah ada kata “Udah yuk mah” terkadang saya mendapati kalimat-kalimat “Can I touch this ?” , “Aku mau duduk dulu sebentar, mau ngadem”, “Burung elang itu mah, elang jawa” . Hal-hal yang tanpa disadari memberikan food for her soul. Siapa yang menyangka juga sejak rutin nature walks, Kakak jadi punya keingintahuan baru soal konservasi. Betapa ia marah ketika tahu banyak sampah di sungai atau lihat berita harimau mati terjerat jebakan kawat. Ini mahal sekali buat saya, rasa keingintahuan yang muncul yang berujung pada pencarian Kakak pada ilmu-ilmu baru. Itulah kenapa saya percayakan alam untuk mendidik anak saya.

“Punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya telinga tapi tidak mendengar musik; punya pikiran tapi tidak memahami kebenaran; punya hati tapi hati itu tidak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar. Itulah hal-hal yang harus ditakuti kata Kepala Sekolah”

Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela. Halaman 106

 

img-20180921-wa00222722289130871744503.jpg

Deschooling di Jepang (Bagian 2) : Teman Baru di Kishibe

Waktu saya bilang ketika traveling perjalanan kami harus beyond jalan-jalan, beberapa hari sebelum kami berangkat saya senang sekali ketika mendapat sebuah email. Emailnya datang dari Melinda Gould, owner dari Rainbow Learning Centre (RLC). Saya ketemu dengan RLC di website Worldschooler Exchange dan langsung menghubungi Melinda ketika tahu bahwa tempatnya bersedia menerima siswa internasional untuk belajar bahasa Inggris bareng sama anak-anak lokal. Tanpa pikir panjang, saya langsung terima ajakan Melinda dan memasukan “belajar di RLC” ke dalam itinerary kami.

Memasuki pekan kedua kami di Jepang, kami stay di Osaka selama satu pekan. Untuk mencapai lokasi RLC, kami harus menempuh perjalanan kereta dan jalan kaki sekitar 45 menit dari apartemen kami di Tennoji-ku. Pagi itu kami akhirnya tiba juga di Kishibe, kota kecil di pinggiran Osaka yang damai dan sepi haha. Walau sepi, saya justru suka karena jauh dari kesan mewah, over tourism dan jarang terlihat di feed para selebgram LOL.

20180922_1012344966855375670912617.jpg
Pagi hari sudah di depan stasiun Kishibe. Tentunya ibu butuh booster kopi Boss hehe 😀

Sampai di RLC, kami disambut hangat oleh beberapa guru dan Kakak pun langsung semangat karena sudah ada fotonya terpampang di depan pintu kelas. Lalu, Kakak  siap belajar bahasa Inggris bersama teman-teman barunya. Sayangnya, saya tidak boleh memantau seharian di lokasi, karena selain memang peraturannya seperti itu, rasanya pegel juga nunggu Kakak dari pukul 9 pagi sampai 4 sore hehe. Jadi, saya dan suami serta adek  pergi jalan-jalan mengelilingi Osaka dan kembali menjemput Kakak.

20180922_1001428225036712554421085.jpg
Warm welcome from RLC team

img-20180923-wa00096158411477860090523.jpg
Menunggu Kakak di depan RLC. Terlihat ibu sudah lanjut ke kopi kedua LOL

Sepulangnya dari RLC, Kakak cerita bahwa teman-temannya banyak bertanya ada apa saja di Indonesia, bagaimana bisa Gwen sudah bisa menunggang kuda dan masih banyak lagi. Dalam hati, saya bangga sama Kakak bukan karena dia mencetak prestasi dalam bahasa Inggris tapi karena dia sudah mau keluar dari zona nyaman dan lekas beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Sampai hari ini pun Kakak masih nagih untuk kembali belajar di RLC, untuk itu lah saya mengajak Kakak untuk bersahabat pena dengan teman-temannya di RLC agar hubungan mereka tetap terjaga sampai nanti pada akhirnya mereka boleh bebas berteman di media sosial hehe (masih lamaaaa itu hahaha).

img_24376025729337678498617.jpg

img_24381827029666532358252.jpg

20180922_2058381610942583831374169.jpg

Jadi, kalau ada yang bertanya anak homeschooling itu gimana gaulnya ? apa gak takut nanti jadi kuper ? . Jawaban saya, sosialisasi bisa diupayakan dalam bentuk apa pun. Dengan kecanggihan teknologi, derasnya arus informasi dan konsep the world without stranger rasanya sosialisasi anak-anak dapat dilakukan dalam bentuk yang variatif dan alami, seperti sosialisasi kita orang dewasa. Apakah saat ini kita punya teman sebanyak 30 orang dengan usia yang sama dan duduk dalam satu ruang selama 8 jam sehari ? mungkin iya tapi mostly not. Bermodal usaha dan kreatfitas, sebagai orang tua homeshooling kita bisa memaparkan anak-anak dengan sosialisasi yang lebih beragam. Sehingga anak sekolah dan homeschooler tidak ada bedanya, mereka sama-sama punya kesempatan bergaul dan bersosialisasi. (Bersambung)