Keluar Dari Sekolah (Bagian 4) : Gara-Gara Totto-Chan

Kalau ditanya kenapa homeschooling rasanya banyak sekali jawabannya sampai bingung mau mulai dari mana, walau intinya sih karena kami galau dengan sistem pendidikan di negara ini. Di blog ini pun saya tulis beberapa alasan mengapa saya pilih homeschooling, sengaja saya share supaya mungkin berguna bagi yang sedang berpikir mau mengambil jalur homeschooling bagi pendidikan anaknya.

Dulu waktu saya kecil ada satu buku yang saya selalu ingat sampai sekarang. Buku itu sangat membekas sekali di pikiran saya sampai saya selalu berkhayal ingin seperti si Gadis di buku itu. Buku Totto Chan : Gadis Cilik di Jendela adalah salah satu buku favorit saya yang karakter dan ceritanya merasuk sampai ke hati :D. Di buku itu sang penulis Tetsuko Kuroyanagi bercerita tentang masa-masa indahnya bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah bernama Sosaku Kobayashi.

Kenapa Tomoe Gakuen begitu istimewa ? Padahal sekolah ini bukan sekolah dengan biaya bombastis, bukan juga sekolah terkenal atau sekolah dengan sederet piala di ruang guru. Bagi saya, Tomoe Gakuen adalah sekolah yang bersahaja. Pak Kepala Sekolah sangat menghargai karakter dan keunikan masing-masing anak, bagi Kepala Sekolah tidak ada anak yang bodoh, baginya semua anak secara alamiah pintar dan punya rasa ingin tahu yang sangat besar sekali. Sedikit banyak memang gaya mendidik Sosaku Kobayashi mirip dengan Charlotte Mason. Seperti belajar dari alam, bergerak mengikuti musik, habit training dengan membaca berbagai karya sastra serta menganggap anak-anak sebagai pribadi utuh. Tidak pernah Kepala Sekolah menganggap anak-anak itu hanya pribadi kecil yang dikecilkan. Buku Totto Chan juga menggarap banyak sekali isu-isu dalam kehidupan. Beberapa diantaranya adalah soal keberagaman, dalam buku ini tersaji berbagai karakter teman-teman totto-chan, ada yang senang matematika, ada yang disabilitas. Ada juga isu lainnya seperti perundungan yang dapat kita lihat di bab “Masow-Chan”.

Gara-gara buku ini lah dulu saya berkhayal ingin sekali sekolah di sekolah seperti Tomoe Gakuen, apa daya sekolah saya dari TK sampai SMA sampai era anak saya sekolah tidak ada yang mirip sedikitpun hahaha. Saat ini memang sudah banyak sekolah progresif dengan metode belajar yang tidak terlalu kaku, namun biasanya hadir dengan biaya mahal atau dalam satu kota hanya ada beberapa biji sehingga untuk pergi ke sekolah harus lintas propinsi haha. Akhirnya, saya berpikir “Kenapa gak gw bikin sendiri aja itu modelan Tomoe Gakuen?” hehe dan akhirnya saya memutuskan untuk homeschooling. Sambil menunggu sistem pendidikan di negara ini setidaknya mendekati sistem pendidikan di Finlandia, kami rela berjuang dan menikmati proses mendidik anak kami secara mandiri. Sebelum sampai ke arah situ, rasanya homeschooling aja deh. :D. 

Advertisement

Deschooling di Jepang (Bagian 2) : Teman Baru di Kishibe

Waktu saya bilang ketika traveling perjalanan kami harus beyond jalan-jalan, beberapa hari sebelum kami berangkat saya senang sekali ketika mendapat sebuah email. Emailnya datang dari Melinda Gould, owner dari Rainbow Learning Centre (RLC). Saya ketemu dengan RLC di website Worldschooler Exchange dan langsung menghubungi Melinda ketika tahu bahwa tempatnya bersedia menerima siswa internasional untuk belajar bahasa Inggris bareng sama anak-anak lokal. Tanpa pikir panjang, saya langsung terima ajakan Melinda dan memasukan “belajar di RLC” ke dalam itinerary kami.

Memasuki pekan kedua kami di Jepang, kami stay di Osaka selama satu pekan. Untuk mencapai lokasi RLC, kami harus menempuh perjalanan kereta dan jalan kaki sekitar 45 menit dari apartemen kami di Tennoji-ku. Pagi itu kami akhirnya tiba juga di Kishibe, kota kecil di pinggiran Osaka yang damai dan sepi haha. Walau sepi, saya justru suka karena jauh dari kesan mewah, over tourism dan jarang terlihat di feed para selebgram LOL.

20180922_1012344966855375670912617.jpg
Pagi hari sudah di depan stasiun Kishibe. Tentunya ibu butuh booster kopi Boss hehe 😀

Sampai di RLC, kami disambut hangat oleh beberapa guru dan Kakak pun langsung semangat karena sudah ada fotonya terpampang di depan pintu kelas. Lalu, Kakak  siap belajar bahasa Inggris bersama teman-teman barunya. Sayangnya, saya tidak boleh memantau seharian di lokasi, karena selain memang peraturannya seperti itu, rasanya pegel juga nunggu Kakak dari pukul 9 pagi sampai 4 sore hehe. Jadi, saya dan suami serta adek  pergi jalan-jalan mengelilingi Osaka dan kembali menjemput Kakak.

20180922_1001428225036712554421085.jpg
Warm welcome from RLC team
img-20180923-wa00096158411477860090523.jpg
Menunggu Kakak di depan RLC. Terlihat ibu sudah lanjut ke kopi kedua LOL

Sepulangnya dari RLC, Kakak cerita bahwa teman-temannya banyak bertanya ada apa saja di Indonesia, bagaimana bisa Gwen sudah bisa menunggang kuda dan masih banyak lagi. Dalam hati, saya bangga sama Kakak bukan karena dia mencetak prestasi dalam bahasa Inggris tapi karena dia sudah mau keluar dari zona nyaman dan lekas beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Sampai hari ini pun Kakak masih nagih untuk kembali belajar di RLC, untuk itu lah saya mengajak Kakak untuk bersahabat pena dengan teman-temannya di RLC agar hubungan mereka tetap terjaga sampai nanti pada akhirnya mereka boleh bebas berteman di media sosial hehe (masih lamaaaa itu hahaha).

img_24376025729337678498617.jpg

img_24381827029666532358252.jpg

20180922_2058381610942583831374169.jpg

Jadi, kalau ada yang bertanya anak homeschooling itu gimana gaulnya ? apa gak takut nanti jadi kuper ? . Jawaban saya, sosialisasi bisa diupayakan dalam bentuk apa pun. Dengan kecanggihan teknologi, derasnya arus informasi dan konsep the world without stranger rasanya sosialisasi anak-anak dapat dilakukan dalam bentuk yang variatif dan alami, seperti sosialisasi kita orang dewasa. Apakah saat ini kita punya teman sebanyak 30 orang dengan usia yang sama dan duduk dalam satu ruang selama 8 jam sehari ? mungkin iya tapi mostly not. Bermodal usaha dan kreatfitas, sebagai orang tua homeshooling kita bisa memaparkan anak-anak dengan sosialisasi yang lebih beragam. Sehingga anak sekolah dan homeschooler tidak ada bedanya, mereka sama-sama punya kesempatan bergaul dan bersosialisasi. (Bersambung)