Tanyakan Ini Sebelum Memulai Homeschooling

Memilih untuk tidak menyekolahkan anak berujung pada banyaknya pertanyaan melayang ke kami. Mulai dari pertanyaan alasannya kenapa, sampai hal-hal teknis dan filosofis. Tentunya kami dengan senang hati menjawab, bahkan tak jarang akhirnya ada beberapa yang tadinya sekedar tanya jadi ikutan tidak menyekolahkan anaknya. 

Sekarang, gantian deh saya yang tanya ke teman-teman beberapa pertanyaan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang saya renungkan terus sampai sekarang, juga pada saat saya memutuskan untuk homeschooling. 

Pertanyaan pertama.

Belajar untuk apa ?

Saat kita tertarik terhadap sesuatu lalu berusaha untuk menyelami sesuatu itu dengan memelajarinya, pernahkah kita bertanya ini semua untuk apa ? Pastinya bukan untuk meraih nilai, mendapat pujian atau sekedar diterima di sekolah favorit. Ada hal lain yang lebih besar dari semua itu, kalau mau besar banget misalnya untuk menjalani perintah Tuhan. Ada lagi untuk menjadi pribadi insan kamil, magnanimous atau agar berguna bagi orang lain. Apakah untuk tujuan-tujuan itu atau tujuan lain yang ada di pikiran Anda, bisa dicapai hanya melalui jalur sekolah ?!. Apakah tidak ada cara lain ?, pilihan lain ?.

Pertanyaan Kedua

Apakah belajar hanya bisa dilakukan di sekolah ? 

Saat dunia sudah semakin tanpa batas, ditambah geliat demokrasi media, apakah sekolah satu-satunya tempat untuk belajar ? .  Dengan akses internet super canggih, anak-anak bisa belajar langsung dari ahlinya dengan berbagai platform MOOC atau Youtube, Outschool dan sebagainya yang bertebaran baik di dalam maupun luar negeri. 

Oh tapi di tempat saya akses internet minim, gimana dong ?. Bukankah pergi berkebun, menyemai bibit sayur lalu hasilnya menjadi pangan keluarga atau tetangga sekitar itu juga belajar ?

Intinya banyak cara untuk belajar, banyak hal yang bisa kita pelajari. Semuanya ada di dekat kita dan menunggu untuk ditemukan oleh anak-anak. Jika melihat ke sekeliling, kira-kira ada apa saja yang menanti untuk Anda pelajari ?

Pertanyaan ketiga

Apa tujuan pendidikan ?

Sejenak mengambil jeda untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Untuk apa ya pendidikan itu ?. Lalu, apakah jalan yang saya tempuh atau alat yang digunakan sudah pas menuju tujuan tersebut ? 

Kalau teman-teman menemukan jawaban-jawaban lain dari ketiga pertanyaan ini, silakan tulis di kolom komentar ya. Atau mungkin ada pertanyaan lain ? monggo. Sampai ketemu lagi di tulisan berikutnya. 

Advertisement

Melacak Warisan Jepang di Sekitar Rumah (Bagian 1)

Memasuki akhir Maret, Kakak mencoba menerima tantangan dari Rumah Inspirasi, Jaladwara Wisata Arkeologi dan Garasi untuk eksplorasi sekitar rumah. Tantangan pertama adalah Melacak Warisan Jepang. Fakta menarik yang ternyata dekat dengan keseharian kita. Tugasnya simple, wawancara Ketua RT, tapi cukup menantang Kakak untuk keluar dari comfort zone. Yuk simak laporan Kakak berikut ini.

 

“Kunjungan ke Pak RT “

oleh : Kakak Malaika

2019_0324_22432600-1.jpg

Hari ini aku ke rumah ketua RT, pak firdaus. Aku bangun lumayan pagi demi explorasi online. Aku sudah lima tahun tinggal di rumah ku tapi belum sama sekali ketemu Pak RT. Aku jalan bersama mamah, bapak, karena aku tidak tahu rumah Pak RT. Nah di sana aku wawancara Pak Firdaus. Ini daftar pertanyaan yang aku siapkan malam sebelumnya.

Inilah yang aku tanya

1. berapa rumah yang dipimpin PAK RT?

2. apa pekerjaan PAK RT sehari-hari?

3. apa suka duka nyaa menjadi ketua RT?

4. ada libur kah pak RT?

5. kalau ada rapat warga di mana?

6. 17 april kan mau pemilu harus gimana persiapan bapak apa?

7. kalau mau rumah rumah aman harus bagaimana?

8. kalau RT harus di pilih kah?

9.  apa syarat nya untuk menjadi ketua RT?

10. berapa lama jadi ketua RT?

11. berapa gaji nya 

2019_0326_09200400.jpg2019_0326_09200700.jpg2019_0326_09201000.jpg

Setelah aku wawancara Pak Firdaus aku jadi semakin tahu. Aku tahu bahwa Pak RT itu suka bagi kue ke warga dan tidak suka mengurus kegiatan warga kalau hujan. Tugas Pak RT adalah melindungi lingkungan dan warga. Pak RT juga memimpin 150 rumah lho. Selain itu Pak RT juga mengurus pemakaman kampung hutan wow hebat yaaa dan repot juga ya heheheh. Kalau mau ikut Pemilu kata pak RT harus berumur 17 tahun dulu sayang anak-anak belum boleh ikut.

Untuk menjadi ketua RT harus bisa baca dan tulis tapi kata nya cuma boleh tiga tahun saja. Namun pak RT sudah menjabat 19 TH lama yahh . Kalau mau lingkungan aman gimana caranya yaa?  Gampang kok kita harus meronda yang meronda warga juga ada satu orang hansip bernama Pak Rojak. .Jadi pak RT itu tidak ada libur nya [tapi di rumah terus kok] hehehe. Pak RT tidak ada gajinya, wah mulia sekali! [seperti sukarelawan]. Oh iya sesekali Pak RT melakukan rapat di posyandu dan di kecamatan.

Pada tugas wawancara ini aku kenal Pak RT juga ternyata RT RW itu warisan Jepang. Sebenarnya aku mau tanya tentang warisan jepang tapi aku takut dia tersinggung kalau dia tidak tahu. Aku suka menulis jurnal dan aku tidak suka wawancara karena malu hehehe. Namun aku bisa melawan rasa malu ku karena aku coba dan coba. Semoga kedepannya lebih percaya diri semangat untuk ketemu pak bu RW. Yey !!

This slideshow requires JavaScript.

Foto-Foto bersama Pak dan Bu RT

 

Demikian laporan kunjungan Kakak artinya selesai sudah Tugas 1 dari Tantangan 1 Eksplorasi Sekitar Rumah, berikutnya mau kemana lagi ya kami ? Tunggu di postingan kami berikutnya yaa..

Keluar Dari Sekolah (Bagian 4) : Gara-Gara Totto-Chan

Kalau ditanya kenapa homeschooling rasanya banyak sekali jawabannya sampai bingung mau mulai dari mana, walau intinya sih karena kami galau dengan sistem pendidikan di negara ini. Di blog ini pun saya tulis beberapa alasan mengapa saya pilih homeschooling, sengaja saya share supaya mungkin berguna bagi yang sedang berpikir mau mengambil jalur homeschooling bagi pendidikan anaknya.

Dulu waktu saya kecil ada satu buku yang saya selalu ingat sampai sekarang. Buku itu sangat membekas sekali di pikiran saya sampai saya selalu berkhayal ingin seperti si Gadis di buku itu. Buku Totto Chan : Gadis Cilik di Jendela adalah salah satu buku favorit saya yang karakter dan ceritanya merasuk sampai ke hati :D. Di buku itu sang penulis Tetsuko Kuroyanagi bercerita tentang masa-masa indahnya bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah bernama Sosaku Kobayashi.

Kenapa Tomoe Gakuen begitu istimewa ? Padahal sekolah ini bukan sekolah dengan biaya bombastis, bukan juga sekolah terkenal atau sekolah dengan sederet piala di ruang guru. Bagi saya, Tomoe Gakuen adalah sekolah yang bersahaja. Pak Kepala Sekolah sangat menghargai karakter dan keunikan masing-masing anak, bagi Kepala Sekolah tidak ada anak yang bodoh, baginya semua anak secara alamiah pintar dan punya rasa ingin tahu yang sangat besar sekali. Sedikit banyak memang gaya mendidik Sosaku Kobayashi mirip dengan Charlotte Mason. Seperti belajar dari alam, bergerak mengikuti musik, habit training dengan membaca berbagai karya sastra serta menganggap anak-anak sebagai pribadi utuh. Tidak pernah Kepala Sekolah menganggap anak-anak itu hanya pribadi kecil yang dikecilkan. Buku Totto Chan juga menggarap banyak sekali isu-isu dalam kehidupan. Beberapa diantaranya adalah soal keberagaman, dalam buku ini tersaji berbagai karakter teman-teman totto-chan, ada yang senang matematika, ada yang disabilitas. Ada juga isu lainnya seperti perundungan yang dapat kita lihat di bab “Masow-Chan”.

Gara-gara buku ini lah dulu saya berkhayal ingin sekali sekolah di sekolah seperti Tomoe Gakuen, apa daya sekolah saya dari TK sampai SMA sampai era anak saya sekolah tidak ada yang mirip sedikitpun hahaha. Saat ini memang sudah banyak sekolah progresif dengan metode belajar yang tidak terlalu kaku, namun biasanya hadir dengan biaya mahal atau dalam satu kota hanya ada beberapa biji sehingga untuk pergi ke sekolah harus lintas propinsi haha. Akhirnya, saya berpikir “Kenapa gak gw bikin sendiri aja itu modelan Tomoe Gakuen?” hehe dan akhirnya saya memutuskan untuk homeschooling. Sambil menunggu sistem pendidikan di negara ini setidaknya mendekati sistem pendidikan di Finlandia, kami rela berjuang dan menikmati proses mendidik anak kami secara mandiri. Sebelum sampai ke arah situ, rasanya homeschooling aja deh. :D. 

Deschooling di Jepang (Bagian 3) : Nostalgia Bapak di Yaita

Harta yang paling berharga adalah keluarga…..

Benar adanya theme song Keluarga Cemara ini, sebagai seorang ibu dan anak, saya selalu bersyukur punya keluarga besar yang selalu mendukung dalam suka dan duka. Untuk itulah saya selalu semangat mengenalkan Kakak kepada keluarga besar saya dan suami. Pada trip deschooling kami ke Jepang, saya senang sekali mendapat kesempatan untuk bertemu keluarga angkat suami. Jadi ceritanya, suami saya ini dulu waktu SMA sempat melakukan pertukaran pelajar ke Jepang dan tinggal bersama keluarga angkat yang sampai saat ini masih berhubungan. Pertukaran pelajar itu terjadi 20 tahun yang lalu dan pada 2018 ini suami berkesempatan untuk mengunjungi kembali keluarga angkatnya.

Kami berangkat pagi hari saat matahari kota Osaka masih malu-malu, langit mendung pun semakin lama meneteskan hujan kecil. Namun, hal itu tidak menurunkan semangat kami mengejar jadwal kereta menuju kota kecil bernama Yaita di Prefektur Tochigi. Perjalanan kami cukup panjang waktu itu, semakin terasa panjang karena ada Adek yang harus makan, tidur tepat waktu sesuai rutinitasnya. Berawal dari Osaka Station naik Shinkansen menuju Tokyo lalu Utsunomiya dan terakhir kereta Commuter Line ke Yaita (saya sebut begitu karena gerbongnya persis gerbong Commuter Line Jabodetabek hehe).

Sampai di stasiun kota Yaita rasa lelah kami menempuh perjalanan panjang terbayar dengan sambutan hangat Ayah dan Ibu angkatnya suami. Mereka menjemput kami di stasiun dan menyediakan kami makan malam rumahan yang rasanya melebihi rasa fine dining Japanese Food manapun di Indonesia hahaha. Rumah keluarga ini juga sangat luas dan indah, disinilah kami mendapat kasur ternikmat setelah dua pekan kami memaksimalkan kamar minimalis Airbnb.

20180923_1840505027290783121026084.jpg
Kelezatannya membuat saya berhenti makan hanya karena malu. LOL!! Gak kenyang-kenyang guys..Alhamdulilah
fb_img_15377552152455274344648345632915.jpg
Pelajaran sekolah kami hari ini : Hirup udara segar
fb_img_1537755222431-14571827571275025341.jpg
Adek seperti biasa dengan gaya andalannya : Telanjang Kaki 😀

Keesokan harinya kami diantar jalan-jalan menikmati keindahan kota Yaita dan Nikko, mengunjungi kuil, museum dan memetik apel. Banyak sekali yang dapat Kakak pelajari pada kunjungan ke Yaita ini, seperti mengenal perbedaan dan sosialisasi lintas umur. Jujur saja pada saat kunjungan ini, saya tidak terlalu banyak bicara karena kendala bahasa itu nyata adanya sodara-sodara. Saya tidak bisa bahasa Jepang sementara keluarga angkat kami ini sama sekali tidak bisa bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia haha. Ujung-ujungnya saya menggunakan Google Translate dan minta suami aja lah jadi penerjemah bahasa Jepang.

img-20180926-wa00077089567449900142831.jpg
The Kobori yang baik hati. Super Love !!

 

Dengan adanya kendala bahasa ini saya salut sama Kakak karena dia tanpa canggung bicara sekenanya, dia pakai bahasa Indonesia dan dijawab bahasa Jepang begitu seterusnya. Selama di Yaita, Kakak juga ditemani oleh sepupu angkatnya, Ko dan lagi-lagi mereka bermain dengan bahasa masing-masing, tapi entah bagaimana kok akrab-akrab aja ya hehe. Namun yang paling membekas buat Kakak adalah ketika dia melihat sejarah Bapaknya. Di rumah Obachan, Kakak melihat kamar Bapak zaman highschool, melihat rute sekolah Bapak dan mendengarkan cerita tentang masa muda Bapak dari Nenek Obachan.

20180924_1140498010307357726138427.jpg
Muka bahagia setelah makan siang
img-20180924-wa00233114535905460994959.jpg
When the world is your classroom, you can learn from apple
20180924_1658243926379291030858727.jpg
Bahasa tidak menjadi penghalang bagi kami untuk bersenang-senang

Petualangan kami di Yaita menjadi penutup deschooling trip kami di Jepang. Tidak disangka semula saya kira ini akan membuat Kakak bosan karena tinggal di rumah orang tua dan di desa pula. Ternyata di travel journal miliknya, Kakak menulis kunjungan ke Yaita adalah yang paling berkesan. Katanya “Kalau waktu di sekolah, teman-teman ku yang pulang dari Jepang selalu cerita Disneyland sama Shinkansen, tapi ga ada yang cerita ke rumah nenek angkat orang Jepang beneran” . LOL !!

(Bersambung)

Kenapa Saya Memercayakan Alam Untuk Mendidik Anak Saya ?

Sejak memulai homeschooling, saya jadi mulai belajar tentang filosofi pendidikan dari Charlotte Mason (CM). Berawal dari buku Cinta Yang Berpikir karangan Ellen Kristi sampai buku Original Homeschooling Series by Charlotte Mason, a 6-in-1 omnibus collection yang sampai sekarang masih saya coba pahami perlahan-lahan. Karena selain bahasa Inggrisnya tingkat tinggi, jumlah halamannya pun gak kira-kira guys, 1670 halaman saja hahaha. Biasanya saya baca tergantung keingintahuan saya saja, tidak saya baca berurutan dari awal sampai akhir. Dengan mengambil model homeschooling eklektik, saya memilih beberapa metode belajar yang menurut saya paling pas diterapkan di keluarga kami, salah satunya adalah metode belajar dari buah pemikiran Charlotte Mason.

Untuk CM, saya terpesona sekali dengan filosofi beliau yang sangat memanusiakan anak, bagaimana CM mengajak pendidik untuk mencetak anak-anak yang berbudi luhur dengan cara-cara yang lembut tapi tegas. Salah satu cara yang menurut Mason penting dipaparkan pada anak adalah belajar bersama alam.

“The mother reads her book or knits her sock, checking all attempts to make talk; the child stares up into a tree, or down into a flower, doing nothing, thinking of nothing; or leads a bird’s life among the branches, or capers about in aimless ecstasy; quite foolish , irrational doings, but, all the time a fashioning is going on: Nature is doing her part, with the vow”

The Child and Mother Nature, Home Education Part II, Charlotte Mason

 

Segitu dahsyatnya menurut Mason alam ciptaan Tuhan ini sehingga layak menjadi tempat terbaik anak untuk belajar. Apa yang kadang menurut kita orang tua sepele dan cuma nambah-nambah kotor baju aja ternyata manfaatnya luar biasa. Banyak yang bisa dilakukan saat membawa anak mengeksplorasi alam seperti membuat nature journal atau memberikan worksheet dan itu sah-sah saja. Namun, buat saya ketika di alam itu adalah momen intim bagi Kakak, siapa sih yang mau diganggu saat sedang berhubungan intim ? haha LOL, tetap sih saya mendampingi tentunya. Saya biasanya berdiri di samping atau di belakang sambil sesekali berkata “Suara apa itu ?” “Pohon apa itu?” “Kok ada bungkus kacang ya di sungai?”. Ketika bersama alam, saya mengalah, saya biarkan alam yang ambil alih untuk mendidik anak saya. Biarkan alam dengan kelebihan dan kekurangannya menjadi guru untuk melatih theatre of mind Kakak. Terbukti sekali this stealth learning benar-benar membius, saat bersama alam tidak pernah ada kata “Udah yuk mah” terkadang saya mendapati kalimat-kalimat “Can I touch this ?” , “Aku mau duduk dulu sebentar, mau ngadem”, “Burung elang itu mah, elang jawa” . Hal-hal yang tanpa disadari memberikan food for her soul. Siapa yang menyangka juga sejak rutin nature walks, Kakak jadi punya keingintahuan baru soal konservasi. Betapa ia marah ketika tahu banyak sampah di sungai atau lihat berita harimau mati terjerat jebakan kawat. Ini mahal sekali buat saya, rasa keingintahuan yang muncul yang berujung pada pencarian Kakak pada ilmu-ilmu baru. Itulah kenapa saya percayakan alam untuk mendidik anak saya.

“Punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya telinga tapi tidak mendengar musik; punya pikiran tapi tidak memahami kebenaran; punya hati tapi hati itu tidak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar. Itulah hal-hal yang harus ditakuti kata Kepala Sekolah”

Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela. Halaman 106

 

img-20180921-wa00222722289130871744503.jpg

Deschooling di Jepang (Bagian 1)

20181127_215807752799421869488996.jpg

September 2018 menjadi bulan bersejarah bagi keluarga kami, bukan karena itu ulang tahun ibu icha avrianty hehe tapi karena bulan September kami memutuskan mulai menjadi praktisi homeschooling. Artinya per September 2018 kami bebas menentukan kapan harus traveling karena tidak terikat cuti kantor serta liburan sekolah, artinya juga kami bisa traveling pada saat low season hehehe. Jadi lah September 2018 kami pergi ke Jepang.

Sejak keluar dari sekolah, anak-anak homeschooling biasanya harus melewati fase deschooling, semacam masa transisi dari sekolah ke homeschooling. Berapa lama kah proses deschooling ini ? Idealnya 1 tahun sekolah sama dengan 1 bulan deschooling. Karena Kakak sudah melewati 2 tahun usia sekolah artinya idealnya proses deschooling berlangsung selama 2 bulan. Namun, karena prinsip HS keluarga kami adalah fleksibilitas, jadi proses deschooling ini pun kami jalani mengikuti perkembangan Kakak. Lalu, dimulai lah proses deschooling di Jepang. Sebagai praktisi homeschooling tentu saja kami tidak mau traveling hanya menjadi sekedar jalan-jalan apalagi buang-buang duit untuk shopping haha. Pokoknya, harus ada ilmu yang dibawa pulang, memori yang akan dikenang anak seumur hidup dan membangkitkan rasa penasaran anak sebagai bahan bakar dia untuk belajar.

gwen's travel journal
Homemade Travel Journal

20181127_2152227977062563534197649.jpg
Menulis Jurnal Day 3 di apartemen Airbnb kami di Tokyo

IMG-20180915-WA0012.jpg
Sebagai worldschooler kadang kelas Kakak bisa jalan 100km/jam 😀

Sebelum berangkat, saya membekali Kakak dengan travel journal lengkap dengan kamera instax. Tugasnya sederhana, setiap hari Kakak harus menulis perjalanannya selama di Jepang, menulis apa saja yang menarik atau tidak enak buat dia. Walau sederhana tapi untuk Kakak lumayan menantang. Ini karena selama di sekolah, Kakak tidak pernah menemukan tujuan dia menulis, untuk apa ya aku menulis ?, kenapa aku harus menulis sesuatu yang aku gak suka ?, bagaimana aku memformulasikan ide ?. Belum selesai pertanyaan itu, Kakak sudah dicap punya tulisan jelek LOL. Ternyata, ketika Kakak menemukan tujuannya dan dilakukan dengan sukacita, tanpa ada pemaksaan dan perang urat syaraf dia mau menulis. Perjalanan menuju sempurna memang masih panjang, but i love baby steps, i love small progress, jadi walau masih sederhana banget hasilnya, namun ada kemajuan dari jurnal hari pertama sampai hari terakhir. This is where the beauty of homeschool works, bagaimana HS bisa berjalan mengikuti kecepatan belajar masing-masing anak, karena dalam dunia pendidikan harusnya kita semua percaya kalau tidak ada anak yang bodoh. Semua anak unik dengan kekuatan dan kekurangan mereka masing-masing. (Bersambung)

Keluar Dari Sekolah (Bagian 3)

Internet berperan besar sekali dalam pengambilan keputusan saya untuk mengeluarkan Kakak dari sekolah. Kenapa ? karena hidup di era internet seperti sekarang ini pada tahun 2018, banyak hal yang berubah drastis termasuk cara belajar dan mencari informasi. Namun, saya melihat sistem pendidikan khususnya di Indonesia berjalan pelan, kalau tidak mau dikatakan statis. Satu hal mendasar yang bisa saya lihat sebagai orangtua awam adalah model ruang kelas tradisional dimana anak murid duduk dan guru selama berjam-jam mentransfer pengetahuan. Jiwa-jiwa bahagia itu kadang harus dipaksa melemah karena harus mengikuti kecepatan belajar sesuai target sekolah, sedangkan setiap anak punya cara belajar yang berbeda-beda dan unik. Kakak yang termasuk anak kinestetik dan linguistik, ia senang sekali bergerak dan kritis. Seringkali dia dipaksa diam karena ingin mempertanyakan sesuatu yang buat dia tidak masuk akal. Kadang ia harus menjalani hukuman karena saat jam istirahat berakhir ia masih asik main bersama teman-temannya di halaman sekolah. Dihukum karena mengeksplorasi halaman sekolah ? hmmm lemas akuuh hehe:D

Balik lagi ke internet, dengan kecanggihan teknologi saat ini ketemu lah saya sama Khan Academy . Platform yang cukup brilian karena pertama kali saya perkenalkan pada Kakak, dia langsung tertarik dan ketagihan belajar Matematika (sungguh aneh tapi nyata) hahaha. Penasaran dong saya, setelah saya telusuri ternyata teori tentang setiap anak belajar dengan cara dan kecepatannya masing-masing itu benar adanya, there is no one size fits all. Awalnya Kakak tidak pernah merasa kesulitan sama Matematika, dia cenderung santai dan semangat mengerjakan soal demi soal sejak kelas 1 SD. Namun ketika sampai pada konsep perkalian, Kakak agak susah untuk mencerna apalagi menghapal. Lantas, belum juga selesai mencerna konsep dasar perkalian, pelajaran di sekolah sudah berlanjut ke tahap yang lebih kompleks. Hasilnya ? Kakak jadi phobia Matematika. Beruntung lah kami segera keluar dari sekolah dan saya ulang kembali dari awal konsep dasar perkalian dibantu Khan Academy.

Tidak hanya Khan Academy, di internet bertebaran sekali situs belajar online dari yang gratis seperti Khan hingga yang berbayar. Tantangannya adalah justru memilih mana yang benar-benar bermanfaat bagi kita. Berangkat dari fakta ini lah saya semakin yakin mengeluarkan Kakak dari sekolah karena semua yang kita ingin tahu dan pelajari tersaji di dunia ini baik offline atau online.

Keluar Dari Sekolah (Bagian 1)

“Kak, ada tugas ga dari sekolah ?”

“Gak tahu”

“Lho kok gak tahu”

“Mamah coba lihat aja di buku penghubung aku”

Padahal saya tahu kok hari itu ada tugas dari sekolah karena sudah dapat info dari whatsapp grup kelas hehe tapi kok si kakak selalu cuek amat ya, kelewat cuek. Saya pun bertanya, apakah pelajaran yang dijadikan tugas itu menyulitkan dia. Setelah saya ajak baik-baik mengerjakan tugas ternyata kakak paham dan bisa mengerjakannya. Lalu, kenapa setiap ada tugas atau mau ada ulangan selalu sebodo amat seakan gak ada semangat. Saya tahu anak saya dan mungkin anak-anak lain juga ketika kecil mereka adalah natural born learner. Curiosity kakak kadang membuat saya kewalahan.

Sekarang di manakah mata berbinar penasaran penuh pertanyaan kritis itu ? Saya terlalu lengah sampai telat menyadarinya kalau itu memudar. Walau kakak tidak pernah mengeluh pergi ke sekolah, tapi minat belajar nya nyaris nol. Hal yang membuat dia semangat pergi ke sekolah hanya karena dia akan bermain dan bertemu teman-temannya. Apakah anak saya bodoh ? Saya yang dulu percaya bahwa setiap anak unik, mulai ragu akan teori itu dan bertanya-tanya, apakah anak saya tidak mampu belajar ?.

Berusaha bangkit dari zona nyaman, saya pun akhirnya introspeksi diri melihat kembali apa yang sudah saya lakukan. Saya mulai mencari bantuan, sibuk bertanya sana-sini, bergabung dengan komunitas ibu-ibu, parenting dan sebagainya. Paralel dengan pembenahan diri saya dan suami sebagai orangtua, saya bertekad untuk mencari sekolah baru untuk kakak. Belanja sekolah pun kami lakukan, you name it deh dari yang berbasis agama, sekolah negeri sampai yang mengusung kurikulum internasional dengan harga aduhai. Siap tempur lah kami karena sadar sekolah yang nyaris memenuhi kriteria kami harganya gak main-main. Kakak pun sempat saya daftarkan untuk pindah ke sekolah swasta itu, saya sudah ketemu guru-gurunya bahkan ketemu foundernya :D. Ketika nyaris menggelontorkan tabungan seumur hidup (lebay) haha tiba-tiba saya teringat konsep homeschooling.

Konsep lawas yang sempat saya telusuri ketika masih di bangku kuliah dan amazingly gak pernah kepikiran lagi ketika saya memutuskan untuk mempunyai anak. Wow !! kemana aja lo cha hehe..Setelah sedikit bertanya ke teman saya yang praktisi homeschooling, saya memulai proses “meditasi” riset konsep homeschooling ini. Akhirnya, September 2018 setelah “meditasi” panjang dan tentu saja dengan persetujuan suami dan kakak Gwen, Bismillahirohmanirohim..Gwen resmi keluar dari sekolah.. Yeayyyy hahaha (Bersambung..)