Deschooling di Jepang (Bagian 2) : Teman Baru di Kishibe

Waktu saya bilang ketika traveling perjalanan kami harus beyond jalan-jalan, beberapa hari sebelum kami berangkat saya senang sekali ketika mendapat sebuah email. Emailnya datang dari Melinda Gould, owner dari Rainbow Learning Centre (RLC). Saya ketemu dengan RLC di website Worldschooler Exchange dan langsung menghubungi Melinda ketika tahu bahwa tempatnya bersedia menerima siswa internasional untuk belajar bahasa Inggris bareng sama anak-anak lokal. Tanpa pikir panjang, saya langsung terima ajakan Melinda dan memasukan “belajar di RLC” ke dalam itinerary kami.

Memasuki pekan kedua kami di Jepang, kami stay di Osaka selama satu pekan. Untuk mencapai lokasi RLC, kami harus menempuh perjalanan kereta dan jalan kaki sekitar 45 menit dari apartemen kami di Tennoji-ku. Pagi itu kami akhirnya tiba juga di Kishibe, kota kecil di pinggiran Osaka yang damai dan sepi haha. Walau sepi, saya justru suka karena jauh dari kesan mewah, over tourism dan jarang terlihat di feed para selebgram LOL.

20180922_1012344966855375670912617.jpg
Pagi hari sudah di depan stasiun Kishibe. Tentunya ibu butuh booster kopi Boss hehe 😀

Sampai di RLC, kami disambut hangat oleh beberapa guru dan Kakak pun langsung semangat karena sudah ada fotonya terpampang di depan pintu kelas. Lalu, Kakak  siap belajar bahasa Inggris bersama teman-teman barunya. Sayangnya, saya tidak boleh memantau seharian di lokasi, karena selain memang peraturannya seperti itu, rasanya pegel juga nunggu Kakak dari pukul 9 pagi sampai 4 sore hehe. Jadi, saya dan suami serta adek  pergi jalan-jalan mengelilingi Osaka dan kembali menjemput Kakak.

20180922_1001428225036712554421085.jpg
Warm welcome from RLC team
img-20180923-wa00096158411477860090523.jpg
Menunggu Kakak di depan RLC. Terlihat ibu sudah lanjut ke kopi kedua LOL

Sepulangnya dari RLC, Kakak cerita bahwa teman-temannya banyak bertanya ada apa saja di Indonesia, bagaimana bisa Gwen sudah bisa menunggang kuda dan masih banyak lagi. Dalam hati, saya bangga sama Kakak bukan karena dia mencetak prestasi dalam bahasa Inggris tapi karena dia sudah mau keluar dari zona nyaman dan lekas beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Sampai hari ini pun Kakak masih nagih untuk kembali belajar di RLC, untuk itu lah saya mengajak Kakak untuk bersahabat pena dengan teman-temannya di RLC agar hubungan mereka tetap terjaga sampai nanti pada akhirnya mereka boleh bebas berteman di media sosial hehe (masih lamaaaa itu hahaha).

img_24376025729337678498617.jpg

img_24381827029666532358252.jpg

20180922_2058381610942583831374169.jpg

Jadi, kalau ada yang bertanya anak homeschooling itu gimana gaulnya ? apa gak takut nanti jadi kuper ? . Jawaban saya, sosialisasi bisa diupayakan dalam bentuk apa pun. Dengan kecanggihan teknologi, derasnya arus informasi dan konsep the world without stranger rasanya sosialisasi anak-anak dapat dilakukan dalam bentuk yang variatif dan alami, seperti sosialisasi kita orang dewasa. Apakah saat ini kita punya teman sebanyak 30 orang dengan usia yang sama dan duduk dalam satu ruang selama 8 jam sehari ? mungkin iya tapi mostly not. Bermodal usaha dan kreatfitas, sebagai orang tua homeshooling kita bisa memaparkan anak-anak dengan sosialisasi yang lebih beragam. Sehingga anak sekolah dan homeschooler tidak ada bedanya, mereka sama-sama punya kesempatan bergaul dan bersosialisasi. (Bersambung)

 

 

Advertisement

Deschooling di Jepang (Bagian 1)

20181127_215807752799421869488996.jpg

September 2018 menjadi bulan bersejarah bagi keluarga kami, bukan karena itu ulang tahun ibu icha avrianty hehe tapi karena bulan September kami memutuskan mulai menjadi praktisi homeschooling. Artinya per September 2018 kami bebas menentukan kapan harus traveling karena tidak terikat cuti kantor serta liburan sekolah, artinya juga kami bisa traveling pada saat low season hehehe. Jadi lah September 2018 kami pergi ke Jepang.

Sejak keluar dari sekolah, anak-anak homeschooling biasanya harus melewati fase deschooling, semacam masa transisi dari sekolah ke homeschooling. Berapa lama kah proses deschooling ini ? Idealnya 1 tahun sekolah sama dengan 1 bulan deschooling. Karena Kakak sudah melewati 2 tahun usia sekolah artinya idealnya proses deschooling berlangsung selama 2 bulan. Namun, karena prinsip HS keluarga kami adalah fleksibilitas, jadi proses deschooling ini pun kami jalani mengikuti perkembangan Kakak. Lalu, dimulai lah proses deschooling di Jepang. Sebagai praktisi homeschooling tentu saja kami tidak mau traveling hanya menjadi sekedar jalan-jalan apalagi buang-buang duit untuk shopping haha. Pokoknya, harus ada ilmu yang dibawa pulang, memori yang akan dikenang anak seumur hidup dan membangkitkan rasa penasaran anak sebagai bahan bakar dia untuk belajar.

gwen's travel journal
Homemade Travel Journal
20181127_2152227977062563534197649.jpg
Menulis Jurnal Day 3 di apartemen Airbnb kami di Tokyo
IMG-20180915-WA0012.jpg
Sebagai worldschooler kadang kelas Kakak bisa jalan 100km/jam 😀

Sebelum berangkat, saya membekali Kakak dengan travel journal lengkap dengan kamera instax. Tugasnya sederhana, setiap hari Kakak harus menulis perjalanannya selama di Jepang, menulis apa saja yang menarik atau tidak enak buat dia. Walau sederhana tapi untuk Kakak lumayan menantang. Ini karena selama di sekolah, Kakak tidak pernah menemukan tujuan dia menulis, untuk apa ya aku menulis ?, kenapa aku harus menulis sesuatu yang aku gak suka ?, bagaimana aku memformulasikan ide ?. Belum selesai pertanyaan itu, Kakak sudah dicap punya tulisan jelek LOL. Ternyata, ketika Kakak menemukan tujuannya dan dilakukan dengan sukacita, tanpa ada pemaksaan dan perang urat syaraf dia mau menulis. Perjalanan menuju sempurna memang masih panjang, but i love baby steps, i love small progress, jadi walau masih sederhana banget hasilnya, namun ada kemajuan dari jurnal hari pertama sampai hari terakhir. This is where the beauty of homeschool works, bagaimana HS bisa berjalan mengikuti kecepatan belajar masing-masing anak, karena dalam dunia pendidikan harusnya kita semua percaya kalau tidak ada anak yang bodoh. Semua anak unik dengan kekuatan dan kekurangan mereka masing-masing. (Bersambung)